OLEH WIDI GARIBALDI
Masih ingat dengan Sengkon dan Karta ? Mereka bukan Penguasa. Bukan pula Pengusaha. Mereka orang biasa, orang bersahaja. Kendati begitu, namanya selalu dikenang. Terutama oleh “orang-orang” hukum. Betapa tidak. Berkat “jasa” mereka kita mengenal lembaga Peninjauan Kembali (PK) yang di Negeri Belanda lazim dikenal sebagai Herziening.
Di penghujung tahun 1977, mereka berdua,Sengkon dan Karta, menjadi korban pengadilan sesat,atau tepatnya putusan sesat. Keduanya harus meringkuk di balik jeruji besi penjara Cipinang, karena dihukum bersalah merampok dan membunuh suami isteri Sulaimen dan Siti Haya di desa Bojongsari Bekasi. Sengkon dihukum 12 tahun dan Karta 7 tahun.
Di dalam penjara, seorang narapidana yang bernama Genul, iba melihat nasib Sengkon dan Karta yang dengan ikhlas menjalani masa hukuman yang tidak seharusnya dibebankan kepada mereka. Hati nurani Genul tergerak. Ia merasa berdosa, karena sesungguhnya dialah yang melakukan perbuatan terkutuk yang didakwakan kepada Sengkon dan Karta itu. Genul mengakui perbuatannya. Dialah sebenarnya yang merampok dan membunuh suami isteri Sulaiman dan Siti Haya.
Salah dakwa
Pengakuan Genul, tidak dengan sendirinya membebaskan Sengkon dan Karta. Status mereka sebagai terpidana putusan pengadilan yang sudah in kracht atau tetap dan pasti, harus dibebaskan melalui putusan pengadilan pula. Karena belum dikenal dalam dunia peradilan, perkara Sengkon dan Karta membawa berkah diberlakukannya Lembaga Peninjauan Kembali, untuk pertama kalinya dalam sejarah peradilan kita.
Nestapa yang terpaksa dialami dan dijalani Sengkon dan Karta adalah akibat “putusan sesat” yang dijatuhkan oleh Pengadilan yang memeriksa,memutus dan mengadili perkaranya. Pak Hakim sama sekali tidak mencium aroma sesat, hasil penyidikan pak Polisi , dan dakwaan pak Jaksa. Pak Polisi salah orang. Terlepas dari sengaja atau tidak. Yang tidak berbuat, tega dijadikan Tersangka. Begitu juga dengan pak Jaksa. Tega meneruskan hasil kerja Polisi ke Pengadilan. Inilah yang disebut error in persona atau exceptio in persona.
Apa yang dialami oleh Sengkon dan Karta kemungkinan besar dialami pula oleh mereka yang menjadi Terpidana perkara pembunuhan dua sejoli Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudiana di daerah Cirebon. Mereka itu, terdiri dari Rivaldi Aditya Wardana,Eko Ramadhani, Sudirman,Eka Sandi, Hadi Saputra,Supriyanto dan Jaya. Mereka semua dijatuhi hukuman seumur hidup. Seorang lagi, bernama Saka Tatal dijatuhi hukuman 8 tahun dan telah menghirup udara bebas tahun 2020 yang lalu. Yang terakhir ini mengakui bahwa dalam proses penyidikan, dia disiksa. Dipukuli, diinjak-injak bahkan disetrum. Apakah perlakuan yang sama juga dialami oleh mereka yang harus meringkuk di penjara seumur hidup itu ?
Pertanyaan wajar, bahkan harus dilontarkan karena Pegi Setiawan yang belum lama berselang ditangkap Polisi dan ditetapkan sebagai Tersangka pembunuhan kedua sejoli itu, baru saja dibebaskan oleh PN Bandung melalui putusan Praperadilan karena Hakim Tunggal Eman Sulaeman menganggap penyidikannya tidak memenuhi prosedur. Jadi manajemen penyidikan Polisi dianggap bermasalah sehingga perlu dievaluasi. Apalagi masih ada 1 dari 3 DPO ( 2 dianggap fiktif) yang sampai sekarang belum tertangkap.
Cukuplah Sengkon dan Karta saja yang harus mengalami putusan sesat akibat penyidikan dan penuntutan yang sesat pula***