OLEH: WIDI GARIBALDI
Dulu, sebelum Konstitusi kita, UUD 1945 diamandemen, lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA) itu terbilang Lembaga Negara setara DPR, BPK,MA dan Presiden. Lembaga2 itu berada di bawah MPR. Lembaga Negara ini merupakan Lembaga Tertinggi. Mengacu ke Pasal 16 ayat (2) UUD 1945, DPA berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah. Jadi, dia harus menjawab pertanyaan Presiden. Kalau Presiden nggak punya pertanyaan, anggota DPA tentu “makan gaji buta”. Punya usulan ? Tergantung Presiden. Mungkin diterima. Tetapi mungkin juga ditampik oleh Presiden, bukan ?
Menyaksikan bahwa lembaga negara,DPA itu sebenarnya ngga punya gawe, mendorong para anggota MPR-RI yang sedang melakukan amandemen, perubahan Konstitusi, menghapusnya. Itu terjadi pada amandemen ke-4. 10 Agustus 2002. Selain menghapusnya, para anggota MPR-RI itu menugasi Presiden untuk membentuk suatu dewan yang lain yang juga bertugas untuk memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.Tetapi cukup diatur dengan undang-undang saja. Ngga perlu dengan Konstitusi. Itu berarti Dewan yang dibentuk berdasarkan perintah Konstitusi hasil amandemen ke-4 itu, levelnya tidak akan sejajar dengan Presiden,DPR,BPK,MK atau MA. Derajatnya berada di bawah Lembaga-lembaga negara tersebut. Setelah perubahan ke-4 itu, lahirlah apa yang kemudian kita kenal dengan predikat Wantimpres, Dewan Pertimbangan Presiden.
Dibentuk berdasarkan UU No.19 Tahun 2006.Tugasnya, sama saja dengan dewan yang lama, memberi nasehat dan pertimbangan kepada Presiden. Bedanya, dewan yang lama levelnya sejajar dengan Presiden, sedang Wantimpres di bawah Presiden. Dalam Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2006 itu dengan tegas disebut “ Dewan Pertimbangan Presiden berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden “.
DEMI JOKOWI ?
Tak ada angin, tak ada hujan, Dewan Perwakilan Rakyat baru-baru ini menggelar rapat paripurna dan mengesahkan revisi UU No.19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden itu. Walaupun bukan merupakan bagian dari Prolegnas, revisi tadi tiba-tiba menjadi RUU inisiatif DPR. Di dalam revisi, Wakil-wakil Rakyat itu mencantumkan perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Jadi sama seperti sebelum amandeman ke-4 dilakukan. Bukan hanya itu, di dalam revisi tersebut terang-terangan disebutkan bahwa dewan pertimbangan ini sejajar kedudukannya dengan lembaga lain, yakni MPR, DPR, BPK,MA,MK dan Presiden. Persis sebagaimana diatur dalam Konstitusi hasil amandemen.
Berita tentang revisi UU tentang Wantimpres itu memang membuat masyarakat terperanjat. Terutama mereka yang hirau akan nasib bangsa. Sama halnya ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggelar karpet merah untuk Gibran, anak sulung Presiden Jokowi agar terpilih jadi Wakil Presiden dan Putusan Mahkamah Agung nomor 23/P/HUM/2024 yang menggelar karpet merah untuk Kaesang, anak bungsu Presiden Jokowi agar dapat mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah.
Akan halnya revisi UU No. 19 Tahun 2006 itu, dicurigai masyarakat dilakukan untuk kepentingan Presiden Jokowi yang akan menjadi rakyat biasa bulan Oktober mendatang. Mumpung jadi Presiden adalah “manusiawi” manakala dia, dari sekarang memikirkan nasibnya sendiri setelah tidak lagi menjadi RI 1. Kecurigaan itu terjadi mengingat betapa bersemangatnya para Wakil Rakyat bekerja untuk menggoalkan revisi undang-undang Wantimpres dengan menempatkannya sejajar dengan Presiden dan Lembaga-Lembaga negara yang lain. Para Wakil Rakyat itu lupa atau pura-pura lupa bahwa perubahan yang demikian harus dilakukan melalui perubahan Konstitusi. Perubahan yang membutuhkan persyaratan tertentu melalui MPR-RI.
Dengan usulan menyamakan level Dewan Pertimbangan Agung hasil Revisi undang-undang Wantimpres dengan Lembaga negara lain, lebih memperkuat kercurigaan bahwa revisi undang-undang dilakukan demi kehendak seseorang yang tidak mungkin ditolak syahwatnya. Tidak sampai di situ saja. Menyamakan Lembaga tersebut dengan Lembaga yang diatur dalam Konstitusi, berarti melanggar Konstitusi.
Asal Bapak Senang, jangankan Undang-undang. Konstitusipun ternyata dilabrak***