Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
DANA haji itu menggiurkan sekali. Magnetnya tinggi menarik minat ingin mencicipi.
Mungkin karena jumlahnya besar, ladangnya luas dan sawahnya basah. Setiap tahun penyelenggara ibadah haji (kementerian agama), mengelola fulus antara 15 sampai 20 ton (trilyun).
Selain itu ada lagi uang Dana Abadi Ummat (DAU), sisa penyelenggaraan dan setoran awal para calon jemaah. Sekarang semua dana itu, dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Jumlahnya per 2023 sudah diatas Rp168 trilyun. Maka itu semua mata mengerling ke sana.
Celakanya, sudah 2 menteri dan satu dirjen tersedot dan masuk jeruji besi.
Yang pertama, KH Prof. Dr. Said Agil Sirad Husien al Munawar. Di waktu dia menjabat (2001-2003), DAU sudah bertumpuk. Ada sekitar Rp 20 trilyun, tersimpan di rekening Dirjen Haji dan dijuluki Dana Abadi Ummat (DAU).
Karena belum ada aturan yang mengatur soal DAU itu, maka pak menteri membuat aturan sendiri.
Di depan sidang yang mengadilinya, Said mengaku dia berpedoman kepada Kepres 22 th 2001 tentang pengelolaan DAU dan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji).
Dia menyebut, UU 17 tahun 1999 tentang ibadah haji tidak ditindak lanjuti dengan PP (Peraturan Pemerintah), melainkan langsung Kepres. Kepres 22 tahun 2001 tentang DAU dan BPIH.
Dalam pasal 8 Kepres tersebut, disebutkan Menteri boleh membuat kebijakan.
Tapi jaksa Ranu Miharja, menuduh Agil kelewatan menafsir Kepres. Dengan KMA (Keputusan Menteri Agama) No. 484 tahun 2001 diatur banyak hak untuk menteri. Ada uang lelah, insentif, honor melatih, uang rapat, uang lembur dan lain-lain.