Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
BANYAK orang, pengamat, politisi juga nitizen nyinyir, ketika kabar tersiar. Katanya ruang kerja walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dipenuhi barang mainan sebangsa lego lego dan tamia. Insyaallah kabar itu benar adanya bukan bohong atau hoax.
Mereka bilang tak layak ruang kerja seorang pejabat publik, pangreh praja, cuma dipenuhi barang mainan.
Selayaknya yang bertumpuk adalah berkas berkas kenegaraan. Atau buku buku lah.
Kata mereka buku itu lambang ilmu. Ilmu itu sumber kecerdasan. Cerdas itu bisa memetik banyak hal, kedudukan dan pendapatan, gengsi dan ekonomi.
Jhon Sitorus pengamat politik dan pegiat sosial membandingkan mas Gibran dengan Bung Hatta, tentu bak bumi dan langit, nyata benar bedanya.
Tapi jangan lupa si Jhon itu pendukung militan Ganjar Pranowo. Jadi maklum kalau ada sedikit sentimen bercampur argumen.
Kata Jhon, ruang kerja wakil Presiden pertama itu, dipadati buku-buku. Bahkan karena di ruang kerja penuh, bung Hatta juga bikin lagi perpustakaan pribadi.
Bung Hatta itu dilahirkan (2 Agustus 1902) di Bukittinggi. Ayahnya M Jamil adalah putra ulama Naqsabandiyah dari Batu Ampar Paya Kumbuh. Ibunya Siti Saleha putra pedagang batik dari palembang. Ketika ayahnya wafat usia Athar (nama kecil bung Hatta) 8 bulan, ibunya nikah lagi dengan H. Agus Ning pedagang batik tapi sangat islamic. Karena itu Athar (bhs Arab berarti Harum) dibesarkan dalam 2 gen, religi dan ekonomi. Ketika dewasa ia mencari ilmu di bidang ekonomi di Rotterdam Belanda.
Setelah lulus dan kembali ke tanah air bergabung dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena perjuangan itu, dia harus menikmati ruang penjara dan dibuang ke Bopen Digul dan Halmahera.
Ketika jadi Wakil Presiden, Hatta mengembangkan ekomi kerakyatan. Pasal 33 UUD 45 tentang ekonomi kerakyatan, adalah buah pikirnya.
Bung Hatta juga punya prinsip. Ketika sudah tidak sejalan dengan presiden (Bung Karno), dia pilih mundur dan bilang go ahead, bukan go to hell.
Sedang Gibran ?
Koleksinya saja cuma barang mainan. Dia itu karbitan, teriak Sitorus. Keputusannya serudukan. Bukan hasil kajian. Contohnya program makan siang gratis yang kemudian diganti jadi makan bergizi. Itu program nemu di jalan, program dadakan. Tembak dulu pikir kemudian. Terbukti sekarang jadi masalah. Anggaran cekak. Katanya mau diturunin dari Rp15.000 menjadi Rp7.500. Alamak, makan apa uang segitu. Cuma nasi ama garam doang kali. Mana gizinya ?
Tapi Jhon Sitorus tidak pas juga membandingkan Mas Gibran dengan Bung Hatta. Dari aspek bibit saja gak koheren. Bung Hatta itu keturunan agamis dan ekonomis, sedang Mas Gibran sorry sorry to say, dia mah keturunan tukang kayu di Kali anyar Surakarta.
Kebetulan bapaknya (Joko Widodo) jadi penguasa negeri, maka dia tergerek secara instan.
Karbitan, kata Sitorus.
Anak sedang seneng senangnya bermain dipaksa suruh kerja serius, komen seorang netizen.
Pokoknya Jhon yang Sitorus, ojo dibanding bandingke antara bung Hatta dan mas Gibran. Mereka itu, beda zaman, beda ulekan.- ***