Oleh : Eka Purwanto
DALAM sebuah obrolan santai, seorang teman berkata; “Apa betul Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara negara?”
Saya terdiam. Tak mampu menjawab tanya itu.
Potret kemiskinan kerap terlihat di jalanan. Anak-anak usia sekolah masih terlihat banyak yang ngamen atau menjadi manusia silver.
Di tempat lain, seorang lelaki tua berpeluh mendorong gerobak bermuatan barang bekas. Di atasnya sejumlah anak kecil tertawa riang naik gerobak.
Pun demikian dengan anak-anak Punk. Dengan pakaian compang camping dan rambut gimbal, mereka ngamen di perempatan jalan
Itulah gambaran kemiskinan yang sering saya temukan sehari-hari di jalanan.
Mereka mengais rezeki demi sesuap nasi. Bernyanyi dari satu angkot ke angkot lain. Ada yang bermodalkan kecrekan, gitar kecil bahkan ada juga yang hanya mengandalkan suara fals dan tepuk tangan sambil bersenandung seraya berharap belas kasih para penumpang angkot.
Di saat anak-anak miskin mengemis di perempatan jalan, di saat itu pula, di gedung mewah bertingkat, orang kaya ongkang-ongkang menghitung laba. Ironis!
Ada cerita tentang manusia gerobak. Saya mengenal dia, –sebut saja Bah Otong– di jalan Kautamaan Istri Bandung. Ia berprofesi sebagai pemulung.
Siang hari Bah Otong berkelana mengitari alun-alun kota Bandung dan Pasar Baru mencari sampah plastik dan kardus.