Oleh Widi Garibaldi
SECARA harfiah, Lame Duck itu berarti bebek lumpuh. Bebek itu terkapar. Badannya tak bergerak karena sudah tak punya tenaga. Matanya tak berkedip. Memandang jauh ke depan.
Itulah yang menandakan bahwa binatang itu masih hidup. Kendati begitu, bebek itu sudah sekarat. Tinggal menunggu ajal menjemput.
Lame Duck. Memang bahasa dan peribahasa Inggris. Makna Lame Duck sudah sejak abad ke-18 digunakan dalam dunia perpolitikan di Inggeris. Pejabat atau Lembaga yang sudah akan purna tugas, diibaratkan bebek lumpuh. Istilah itu mengacu kepada kekuasaan lama yang akan segera berakhir sedang kekuasaan baru menunggu saat yang sudah ditentukan untuk berperan.
Masa transisi antara kekuasaan lama dan kekuasaan baru itu biasanya akan dimanfaatkan oleh penguasa lama untuk melakukan langkah-langkah demi kepentingan politiknya sendiri. Mumpung masih berkuasa. Kesempatan sebelum kekuasaan berpindah ke tangan orang lain. Aji mumpung, begitulah kira-kira. Itulah sebabnya masa transisi itu di Amerika Serikat diperpendek, jangan sampai digunakan untuk mengeluarkan kebijakan yang bukan untuk kepentingan rakyat.
Menjelang 20 Oktober 2024
Presiden Jokowi sadar benar bahwa mulai tanggal 20 Oktober mendatang ia bukan lagi orang nomor satu di republik ini. Ia akan menjadi rakyat biasa, begitu Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI oleh MPR di Senayan Jakarta.
Mumpung masih jadi Presiden, ia telah memanfaatkan lame duck session itu untuk kepentingan keluarganya. Sungguh piawai ketika ia “melempar batu”. “Tangan”nya tak kelihatan dengan kasat mata. Ia meminjam tangan orang lain. Agar supaya anak sulungnya cukup umur untuk menjadi Cawapres, ia meminjam tangan adik iparnya, Anwar Usman yang Ketua Mahkamah Konstitusi.
Tanpa mengindahkan ketentuan Pasal 17 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adik ipar Presiden Jokowi itu berhasil mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi.
Hal yang sama terulang kembali, ketika Jokowi ingin memuluskan jalan bagi anak bungsunya agar dapat mengikuti Pilkada yang akan datang. Seperti gayung bersambut, keinginannya jadi kenyataan ketika Mahkamah Agung mengeluarkan putusan bahwa batas usia Kepala Daerah terpilih dihitung dari waktu pelantikannya, bukan ketika pencalonan dilakukan.
Akan halnya sang menantu, jalan tak lagi menanjak untuk menjadi Gubernur Sumatra Utara karena hampir semua partai menjadi pendukung, walau lawannya adalah seorang serdadu berbintang tiga. Sungguh, Jokowi sukses membangun dinasti politiknya dengan memanfaatkan lame duck session itu.
Nah, kalau untuk anak dan mantu sudah, bagaimana untuk diri sendiri ?
Di sisa masa jabatan yang tak lebih dari 3 bulan lagi ini, DPR telah “berhasil” merevisi RUU No.19 tahun 2006 tentang Wantimpres menjadi RUU inisitif DPR. Seolah olah bukan kehendak pemerintah (Presiden), RUU akan disunglap menjadi Dewan Pertimbangan Agung seperti yang dikenal di masa Konstitusi sebelum mengalami amandemen. Kalau goal, undang-undang ini akan merupakan persembahan para Wakil Rakyat itu untuk Jokowi.
Nanti kalau sudah purna tugas sebagai Presiden, ia tak perlu lagi hirau sebagai rakyat biasa, walaupun berulangkali dikumandangkannya akan menikmati hari tua di kampung halaman saja. Sebuah rumah megah, kini memang sedang dibangun oleh negara untuknya, di desa Blulukan, kecamatan Colomadu kecamatan Karanganyar.
Sebelum purna tugas sebagai Presiden, kursi Lembaga Tinggi negara sedang dipersiapkan pula untuknya. DPA, Lembaga yang bukan di bawah Presiden tetapi sejajar dengan kedudukan Presiden.
Sama halnya dengan revisi UU No.19 Tahun 2006, Legislator kita di Senayan sedang berkejaran dengan waktu. Mereka berusaha agar sisa waktu yang tinggal sekitar 3 bulan lagi ini dapat dimanfaatkan untuk mengundangkan peraturan-peraturan sesuai kehendak pemesan.
Badan Legislasi DPR telah menyepakati revisi UU Kementerian Negara. Lampu hijau untuk menambah kursi Menteri telah dinyalakan. Yang semula hanya 34 sekarang ditambah menjadi 40. Paling tidak sebagai balas jasa bagi mereka yang melahirkan pemerintahan baru.
Revisi UU TNI dan UU Polri sebagai contoh lain. Pembahasannya dikebut, agar supaya pensiun anggota TNI dan Polri dapat diperpanjang dan larangan berbisnis bagi anggota TNI dicabut.
Di samping itu, dikebut pula peraturan perundang-undangan yang secara langsung memberatkan kehidupan rakyat yang sudah berat. Januari tahun depan, semua kendaraan bermotor harus diasuransikan. Tak terkecuali motor-motor butut pengangkut gabah yang digunakan para petani menelusuri pematang sawah.
Kalau rakyat meringis, tentu saja bertolak belakang dengan para pengusaha. Terutama pengusaha asuransi.
Jauh sebelum lamb duck itu tiba, sebenarnya seperangkat peraturan perundang-undangan yang sejak lama dinantikan kehadirannya oleh masyarakat hingga kini tak kunjung diundangkan oleh para Legislator itu.
Sebut saja misalnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang kehadirannya sangat dinantikan agar kekayaan negara yang berhasil diboyong antara lain oleh para koruptor itu dapat dirampas. Walaupun Presiden telah berkirim surat (Surpres), para Legislator itu tak kunjung membahasnya. Begitu juga dengan revisi UU No. 19 Tahun 2019 yang jelas-jelas menumpulkan cakar dan taring KPK.
Memang, mengharapkan diundangkannya peraturan yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dalam masa transisi ini, samalah artinya dengan “menggantang gantang asap”. Tak akan mungkin terjadi ***