Padahal kalau soal anggaran sebenarnya menurut UU Pemda yang terbaru (9 thn 2015) ada masa DOB persiapan (3 tahun). Selama masa persiapan anggaran DOB ditanggung pemda induk. Dan sudah ada yang siap menanggung anggaran itu. Dan siap menerima kembali DOB yang gagal. Apalagi yang jadi alih alih (alasan) mempertahankan moratorium itu hingga jadi status quo begini ? Pertanyaan (quo vadis) itu masih tetap mengawang ngawang di langit biru.
Sekedar tahu, ada komentar dari Robert Endi Jaweng, Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan OTDA (KPPOD). Kata dia sulit menghilangkan cawe cawe elit dan partai politik dalam proses pemekaran daerah.
Mereka tersedot magnit peluang pada DOB itu. Di sana ada jabatan politik, kepala dan wakil kepala daerah, ketua dan wakil ketua DPRD.
Karena itu jangan kaget jika mereka tampil ikut utak atik dalam proses itu. Terlebih dalam musim pemilu (pilkada, pileg bahkan pilpres).
Banyak bunyi dan omon omon. Menebar seribu janji, gampang gampangan masalah, termasuk soal DOB.
Harap maklum dan jangan mudah tergiur. Endi juga menyebut selain politisi ada juga yang senang hati dengan pemekaran daerah. Mereka adalah pebisnis. Banyak proyek infra struktur sok pasti.
Yang tersisa rakyat yang melongo tak tahu apa dan jadi pelengkap motivasi doang.
Pada akhirnya, sebuah pesan buat penguasa yang menegang kunci moratorium. Ingat 325 pengusung pemekaran itu bisa menjadi kekuatan politik yang dahsyat.
Mereka itu ibarat penghuni pulau Sancang di Garut Selatan. Sekali waktu bisa bangun, mengaum.
Jangan buat korban sia sia. Ingat peristiwa Medan (2014).