Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
SEDANG rebut-ribut mereka. Itu gara-gara PP Muhammadiyah mengikuti jejak PBNU menerima tawaran pemerintah, mengelola pertambangan. Istilah usilnya, bareng bareng masuk lobang.
Pro dan kontra internal. Juga tanggapan eksternal.
Dari kalangan internal ada Busyro Mukoddas. Mantan komisioner KPK itu, adalah ketua bidang hukum, HAM dan hikmah PP Muhammadiyah. Sejak awal dia paling keras menolak. Dia menggambarkan bagaimana buruknya wajah pertambangan. Salah satunya dicontohkan tambang batu andesit di Wadas Purworejo Jawa Tengah. Proyek Strategis Nasional itu telah merusak ekologis dan emosi publik.
Tapi Busro kalah suara. Di dalam permusyawaratan yang berlangsung dalam rapat pleno 13 Juli, dari 18 pemilik suara hanya 3 yang menolak. Rupanya Muhammadiyah juga harus menerapkan sistim demokrasi menang dan kalah, bukan benar dan salah. Lagi pula memang, benar salah itu subyektif. Bisa saling klaim. Berebut kebenaran.
Ketika konferensi pers pasca konsolidasi Nasional PP Muhammadiyah 28 Juli Buysro tidak hadir. Yang terjadi dalam kompres itu, ketum Prof Haedar Nasir mengumumkan Muhammadiyah akan menerima tawaran izin usaha pertambangan khusus ormas (PP 25 tahun 2024).
Kata Busro, setelah itu ada 11 pimpinan wilayah yang menolak. Ketua wilayah Berau Kaltim sudah menyatakan mundur. Aisyiyah organisasi emak emak tidak setuju.
Dari eksternal, yang paling vocal tentulah Rocky yang gemar menggerung gerung.
Dia bilang para elit Muhamadiyah sudah masuk jebakan oportunisme. Padahal sebelumnya Muhammadiyah sangat lantang bicara soal lingkungan dan krisis iklim.
Tapi dari eksternal MUI menyatakan dukungan.
Sebuah pertanyaan yang berbasis kekhawatiran, apakah ribut ribut ini akan mengakibatkan Muhamadiyah, pecah ?