Tidak, kata Nurkhamid Alfi, aktivis Muhammadiyah Grand Wisata Bekasi.
Alfi paham kedewasaan, kearifan dan toleransi elit elit sudah terjaga dengan baik.
Itu hanya riak riak doang. Nanti juga reda sendiri. Apalagi ketum Haedar sangat well come dengan kritik. Silahkan asal jangan mencela. Kritik sekeras apapun. Itu adalah energy.
Alfi mencontohkan adanya krisis tahun 1956.
Buya Hamka dan kawan-kawan menolak pengangkatan Mulyadi Joyomartono menjadi Menko Kesra. Hamka khawatir dengan masuknya Mulyadi, Muhammadiyah akan kehilangan daya kritisnya.
Konflik sesama tokoh Muhammadiyah akhirnya selesai lewat islah dalam sebuah pertemuan.
Prof Haedar juga berjanji akan menarik diri jika terdapat tanda-tanda kerusakan dalam pelaksanaan usaha penambangan itu. Dia menjelaskan tentang ucapannya tidak berorientasi pada keuntungan semata. Sebab bagi Muhammadiyah bisa merubah image bahwa tambang itu identik dengan kerusakan, sudah merupakan keuntungan bagi persyarikatan (Muhammadiyah) yang didirikan KH Ahmad Dahlan (1912).
Alfi memberi informasi tentang kemungkinan lahan yang akan diberikan kepada Muhammadiyah.
Sangat mungkin bekas PT Arutmi. Itu lebih bagus dari yang diberikan kepada PBNU. Lahan itu juga sama bekas grup Bakri yang tidak diperpanjang. Katanya lahan itu baru ditambang 213 juta ton. Padahal potensinya diprediksi sekitar 1,66 milyar ton. Masih ada 4 lahan lagi yang belum diredistribusi.
Alfi juga berpendapat bahwa tidak mungkin penambangan itu akan zero kerusakan. Itu sok pasti. Bayangkan kegiatan penambangan itu, dimulai dari pembukaan lahan (land clearing) kegiatan penambangan, pengangkutan ke stockfile, pengangkutan ke port/jetty. Itu semua pasti menimbulkan kerusakan. Tapi itu bisa direduksi dengan rehabilitasi dan reklamasi. Tapi rehabilitasi dan reklamasi itu menyedot anggaran yang besar, makanya banyak perusahaan yang melanggar. Meninggalkan areal yang rusak dengan lobang menganga.