Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
TAK tahu kita, apakah arwah KH Ahmad Dahlan, sedang bersuka cita atau berduka nestapa ?
Bersuka karena pohon yang ditanamnya tumbuh subur dan berbuah lebat.
Mungkin juga lagi sedih, lantaran anak cucu sedang berantem menyoal soal pohon warisan itu.
Tapi KH Ahmad Dahlan itu seorang arif dan bijak bestari. Dia seorang pejuang cerdas dan berani. Bahkan memulai langkah sendirian. Seorang visioner yang menatap masa depan dengan tajam.
Terlahir ke alam fana ini dengan nama Muhammad Darwis tanggal 1 Nopember 1868 di Kauman Yogyakarta.
Kakeknya seorang pejuang dan penyebar Islam. Beliau, Syeikh Maulana Malik Ibrahim adalah salah seorang dari Walisongo yang dikenal dengan nama Sunan Gresik.
Sejak kecil, Darwis akrab dengan kehidupan yang sangat Islami. Umur 15 tahun (1880), ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Di sana terlibat dalam gerakan pembaharuan Islam. Ada banyak cara beribadah kaum Islam di Nusantara yang tidak sesuai dengan ajaran Muhammad secara murni.
Dan itulah yang sedang dipelajari para mukimin di sana. Dan Darwis kemudian terlibat di dalamnya.
Guru-gurunya ada beberapa yang berasal dari tanah air. Seperti kiyai Nawawi al Bantani, Kiyai Mas Abdullah Surabaya sampai kiyai Maskumsmbang.
Ketika pulang, setelah 5 tahun mukim, ada dua hal yang dibawa sebagai oleh-oleh. Pertama modernisasi Islam dan kedua pergantian nama.