Oleh : Eka Purwanto
ISTILAH melawan kotak kosong, pertama kali saya dengar terjadi di provinsi tetangga. Di kota itu, seorang ‘calon ujug-ujug’ melesat naik jadi calon kepala daerah.
Bukan kader militan dan bukan pula anggota partai, ‘calon ujug-ujug’ itu mampu menggeser posisi jagoan internal. Sang jagoan yang digadang-gadang akan nyalon kepala daerah tak bisa berkutik. Ia diam. Tak protes, apalagi bakar ban berdemo di kantor DPP.
Musababnya, pemegang kendali alias ketua umum di Jakarta sudah memberi restu untuk calon yang ujug-ujug tadi, yang karbitan, yang melalui jalan toll, yang instant dan yang lain-lain.
Singkat kata, elektabilitas sang ‘calon ujug-ujug’ itu meroket hampir tak ada lawan. Hingga detik-detik pemilihan, tak ada calon yang berani tampil medaftar ke KPUD.
Orang pun lantas memprediksi bahwa sang ‘calon ujug-ujug’ akan melawan kotak kosong.
Di masa injury time, munculah calon underdog, bukan dari partai atau pun publik figur.
Endingnya, lawan underdog itu dengan gampang dipecundangi. Otomatically, sang ‘calon ujug-ujug’ melenggang menuju singgasana kursi kepala daerah.
Isu kotak kosong kini muncul lagi. Fenomena kotak kosong dalam pemilihan di Indonesia adalah ancaman besar terhadap kesehatan demokrasi.
Pemilihan tanpa lawan, yang didorong oleh intrik politik dan struktur kekuasaan yang tertanam, menunjukkan penyakit kronis dalam proses demokrasi.
Rumor yang berkembang menyebutkan bahwa pilkada Jakarta akan diwarnai pemilihan melawan kotak kosong. Bersamaan dengan isu itu, beredar pula spekulasi tentang manuver politik yang dirancang Koalisi Indonesia Maju.