Oleh : Dedi Asikin
BANYAK orang, bahkan sejarah menyebut perisitiwa (paksa) membawa dua ikon perjuangan kemerdekaan bung Karno dan bung Hatta sebagai penculikan.
Tapi chudanco Singgih berusaha mengoreksi.
Kepada wartawan Mahbub Djunaedi (1975) ia mengatakan prasa penculikan itu terlalu didramatisir. Yang benar adalah menyelamatkan kedua pemimpin senior itu dari jamahan dan pengaruh tentara Jepang.
Tentara Dai Nippon itu masih tetap berkeliaran dan mempertahankan hegemoni penjajahan. Padahal para pemuda tahu bahwa tanggal 2 Agustus, Hiroshima dan Nagasaki berkeping keping dihentak bom atom Amerika Serikat. Salah seorang pemuda bernama Sutan Syahrir mendengar kejadian itu dari siaran radio. Lalu secara getok tular menyebarkan kepada banyak pejuang pemuda.
Tapi memang kaisar Hirohito baru menyatakan kalah perang pada tanggal 14 Agustus.
Para pejuang muda ingin memanfaatkan momentum itu untuk menyatakan kemerdekaan.
Tapi berbeda pandang dengan para pejuang tua. Terutama bung Karno dan bung Hatta. Kedua tokoh itu ingin menunggu perkembangan dan akan membicarakan dulu dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai bung Karno.
Tangal 12 Agustus bung Karno dan bung Hatta ketemu Jendral Hiroshi Imamura (pemimpin perang Jepang di Dalat Vietnam) membicarakan kemerdekaan yang dijanjikan Jepang.
Tapi para pejuang muda tidak dapat menunggu dan tidak setuju dengan kemerdekaan sebagai hadiah.
Memang ada beberapa versi cerita tentang drama Rengasdengklok itu.
Tapi kemarin saya menemukan sebuah buku tua di lemari buku di rumah. Buku itu ditulis Adam Malik dan terbit tahun 1950.
Tentu saja saya lebih percaya Adam Malik. Pertama karena dia termasuk salah seorang pelaku sejarah. Kedua beliau seorang wartawan. Tentu menulis dalam bingkai kode etik profesi.
Bagini ceritanya :
Tanggal 15 Agustus 1945, ada pertemuan para pemuda di ruang belakang gedung laboratorium Jl. Pegangsaan Timur.
Hadir antara lain Chairul Saleh, Darwis, Djohan Noer, Soebadio, Adam Malik, Aidit, Soebianto, Margono, Soenjoto, Aboe Bakar dan Soedewo. Menyusul kemudian Wikana dan Armansah.
Rapat dipimpin Chairul Saleh. Beberapa Keputusan:
- Kemerdekaan tiba saatnya diproklamasikan, Ini hak dan persoalan bangsa Indonesia sendiri,
- Ajak bung Karno dan bung Hatta berunding sekali lagi (terahir kali).
Lakukan proklamasi dan hentikan hubungan dengan janji-janji Jepang. Hadiah kemerdekaan itu akan jadi bahan olok olok.
- Wikana dan Darwis diutus menemui Bung Karno dan bung Hatta.
- Djohan Noer ditugaskan menyiapkan para pelajar di asrama.
- Akan diadakan pertemuan lagi malam hari di Cikini 71 untuk mendengar laporan Wikana dan Darwis.
Jam 20.00 Wikana dan Darwis bertemu bung Karno dan bung Hatta di rumah bung Karno Pegangsaan Timur 56. Kemudian datang menyusul Dr. Boentaran.
Karena tidak ada kata sepakat jam 23.00, Wikana pulang dengan perasan kesal.
Jam 24.00 rapat lagi di Jl Cikini.
Macam macam pendapat muncul.
Ada yang usul ajak lagi Bung Karno dan bung Hatta ketemu dengan rakyat, biar rakyat yang ngomong.
Datang pula Soekarni dan J. Kasimo.
Ketika pertemuan diskors, Chairul Saleh, Singgih (PETA), J. Kasimo dan Dr. Muwardi berembuk.
Keputusan :
- Proklamasi harus dinyatakan sendiri oleh rakyat.
- Bung Karno dan bung Hatta disingkirkan ke luar kota yang dikuasai PETA dan rakyat mendukung kemerdekaan.
- Singgih ditugaskan melaksanakan rencana itu.
Dan itu yang terjadi, Singgih membawa kedua tokoh itu subuh tanggal 16 Agustus. Sampai di Rengasdengklok siang hari. Kedua tokoh bersama ibu Fatmawati dan bayi Guntur ditempatkan di rumah seorang tionghoa bernama Djiauw Kie Siong di kampung Bojong Rengasdengklok.
Sore hari Soebadio dan Wikana menyusul.
Setelah bertemu bung Karno dan bung Hatta Wikana menjamin proklamasi akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus di Jakarta.
Kalau tidak, tembak mati saya, kata Wikana sambil meminta kedua tokoh dibawa kembali ke Jakarta.
Dan itulah yang terjadi. Hari Jumat 17 Agustus jam 10.00, di Jl. Pegangsaan Timur 56 bung Karno dan bung Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Di luar buku Adam Malik ada cerita Singgih kepada wartawan Mahbub Djunaedi.
Katanya kalau tidak ada kesepakatan dengan Wikana, proklamasi akan dilakukan di Rengasdengklok. Naskahnya sudah disusun di rumah Djiauw Kie Siong. Rencananya tanggal 17 Agustus akan ditodogkan kepada bung Karno dan bung Hatta untuk dibacakan.
Masyarakat sudah siap. Bahkan di beberapa tempat bendera merah putih sudah dikibarkan.
Wedana yang tidak mendukung, sudah diamankan PETA.
Cerita Singgih itu ditulis Mahbub Djunaedi di Kompas tanggal 16 Agustus 1978. Wallahu alam.- ***