Oleh : Dedi Asikin
SEKECIL apapun kebaikan orang jangan pernah dilupakan. Mereka harus dihargai dan dihormati.
Agama Islam mengajarkan hal demikian. Rasanya juga agama lain begitu.
Bagi seorang Djiauw Kie Siong, mungkin merasa yang dilakukannya sepele. Cuma memberi izin rumahnya dipergunakan orang untuk istirahat.
Tapi bagi kita, itu bukan sepele. Pertama, tamunya datang ujug-ujug, boro-boro diundang. Jumlahnya seabreg-abreg.
Bagi kita, itu peran besar. Dari rumah di kampung Bojong Rengasdengklok itulah diperdebatkan, dimatangkan dan diputuskan proklamasi kemerdekaan bagi sebuah bangsa besar (waktu itu penduduknya 50 juta), yang telah berjuang selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Djiauw Kie Siong bukan pribumi. Bukan keturunan orang nusantara.
Maaf, setidaknya bagi dia, tidak usah kita sebut dia orang China.
Katanya mereka tidak begitu suka dipanggil China. Enaknya dipanggil Tionghoa, negaranya Tiongkok. Itu bahasa China dialek Hokian.
Karena merasa apa yang dia lakukan adalah hal sepele, Djiauw tidak pernah menuntut apa apa. Kepada 9 anaknya dia juga berpesan agar tidak mengharap dan meminta apa-apa.
Dia cuma berpesan, rumah jangan dikosongkan, harus ada yang menunggui.
Semua orang atau tamu yang datang, layani dengan baik.
Dan karena tidak pernah ada permintaan apa-apa, karena itukah negara dan bangsa ini lupa menghargainya ?
Satu-satunya yang babah Djiauw terima adalah selembar surat penghargaan dari Panglima Kodam Siliwangi, Mayor Jendral Ibrahim Adjie tahun 1961. Dan surat itu masih tergantung di sebuah ruangan di rumah itu. Pemerintah baru menetapkan rumah tempat penculikan itu sebagai cagar budaya dan destinasi wisata sejarah. Belum dipugar sama sekali. Hampir 100 % utuh seperti adanya waktu perisitiwa terjadi 16 Agustus 1945.
Yang sudah dipugar baru makam Djiauw yang wafat tahun 1964. Itupun bukan oleh pemerintah, melainkan oleh Majlis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN).
Ketua MAKIN, Budi S Tanuwibowo, mengaku Djiauw Kie Siong telah melintasi sekat agama, entitas dan budaya. Dia itu rela berkorban untuk orang banyak. Dan sikap itu relevan dengan ajaran agama Konghucu. Maka itu, kata Budi, MAKIN berinisiatif memugar makam almarhum.
Djiauw Kim Moy, seorang cucu yang menunggui rumah sejarah itu, menuturkan kepada majalah Tempo 2 tahun lalu.
Katanya, kakeknya (Djiauw Kie Siong), lahir tahun 1880 di kampung Pisangnambo kecamatan Tirtajaya kabupaten Karawang. Tahun 1920 pindah ke kampung Bojong Kecamatan Rengasdengklok.
Dia memiliki lahan 2 hektar persis di pinggir kali Citarum yang menjadi perbatasan kabupaten Karawang dengan kabupaten Bekasi. Djiauw hidup sebagai petani sayuran seperti ketimun, cabe, kacang dan sebangsa sayuran lainnya.
Tahun 1950 sungai Citarum banjir besar dan terjadi abrasi yang mengancam keamanan rumah. Karena itu dibantu seluruh warga sekitar digeser (dipindah) 150 meter dari tempat asli.
Tapi semuanya persis seperti waktu dipergunakan bung Karno dan bung Hatta.
Bentuk bangunan, keadaan di dalam seperi kamar, kursi dan meja semua persis. Juga bangku kayu di depan rumah.
Menurut Kim Moy, yang mengaku sebagai ibu Yanto, Djiauw Kie Siong wafat tahun 1964 dalam usia 84 tahun karena penyakit paru paru.
Kalau kita mau merenungi peran Djiauw Kie Sing itu bukan sepele.
Rumah itu nyaris menjadi gedung/rumah proklamasi.
Seperti ditulis wartawan senior Mahbub Djunaedi (kompas 16 Agustus 1978), berdasarkan penuturan Cudanco Singgih (1975), jika Wikana dan Soebadio tidak datang dan bersepakat dengan bung Karno dan bung Hatta, proklamasi akan dilakukan di rumah Djiauw itu. Naskahnya sudah disusun. Dan tanggal 17 Agustus bung Karno dan bung Hatta akan ditodong untuk membacakan proklamasi itu.
Jika seperti perasaan Djiauw Kie Siong peran dia sepele, secara fisik mungkin benar. Tetap dari aspek momentum, sejarah dan psikologis, peran itu sangat krusial. Menentukan kemerdekaan sebuah bangsa besar ke 4 dunia.
Maka itu yang terbaik Djiauw Kie Sing itu, dilupakan jangan.
Jadilah kita bangsa yang bermartabat dan beradab. Pandai menghargai dan menghormati kebaikan orang, sekecil apapun.- ***