KoranMandala.com – Dwi Warna, sudah berkibar di mana-mana. Pertanda suka cita rakyat menyambut proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 79. Artinya, sudah 79 tahun lamanya republik ini lepas dari cengkeraman penjajah. Bila diibaratkan usia manusia, sudah terbilang kakek-nenek. Malangnya, tujuan para pahlawan memerdekakan bangsa ini dari penjajah, belum juga tercapai. Walaupun kita telah 79 tahun yang lalu berhasil melalui pintu gerbang kemerdekaan itu, tetapi masyarakat yang dicita-citakan, belum juga terwujud.
Mengapa bangsa ini belum juga bisa beranjak dari kemiskinan ? Ibarat “menggantang gantang asap”, masyarakat adil dan makmur masih menjadi angan-angan.Karena kita enggan mengakui bahwa korupsi adalah salah satu penyebab utama yang membelenggu kemajuan bangsa ini.
Semakin permisif
Dibanding tahun yang lalu, masyarakat Indonesia terbukti semakin permisif terhadap korupsi. Korupsi semakin dianggap sebagai perbuatan yang biasa. Lumrah. Hal ini dibuktikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menemukan angka Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2024 3,85 pada skala 0-5. Pada tahun yang lalu, tahun 2023, angka itu masih mencapai 3,92. Ini berarti bahwa tahun yang lalu masyarakat masih berperilaku lebih anti korupsi dibanding tahun ini yang lebih permisif,lebih toleran terhadap korupsi itu.
Korupsi semakin tidak dianggap sebagai musuh bangsa. Masyarakat menunjukkan sikap nerimo. Para koruptor berbaju oranye dengan tangan diborgol, ibarat pahlawan, melempar senyum dengan wajah sumringah, lalu lalang di layar kaca. Begitulah perbuatan mereka yang menghambur hamburkan uang negara untuk anak cucu seperti yang dilakukan oleh mantan Mentan SYL. Atau dia yang menjejalkan uang rakyat untuk memikat puluhan wanita-wanita cantik seperti yang dilakukan oleh mantan gubernur Maluku Utara AGK. Uang hasil korupsi ditransfer ke rekening wanita-wanita cantik itu, agar mereka mau diajak kencan di kamar hotel. Uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah tentu saja membuat para gadis itu rela menyerahkan kehormatannya kepada sang Gubernur yang lebih mementingkan penyaluran syahwatnya daripada memikirkan kepentingan rakyatnya yang menderita.
Baca juga; Upaya Memperkuat Pemberantasan Korupsi, Sudirman Said Didukung Jadi Capim KPK
Betapa semakin permisifnya kita terhadap perilaku korupsi terbukti dari semakin meluasnya perbuatan tercela itu. Bukan hanya oleh pejabat biasa tetapi juga oleh para Menteri. Kendati dalam kampanye Capres, Jokowi dengan lantang berseru akan memberantas korupsi tetapi ternyata dalam kabinetnya beberapa Menteri melakukan perbuatan durjana itu. Masih ingat Juliari Batubara yang mantan Menteri Sosial ? Ia terlibat perkara suap bansos Covid 19. Ia hanya dijatuhi hukuman 12 tahun padahal dalam keadaan khusus seperti Covid 19, menurut ketentuan undang-undang ia dimungkinkan untuk di dor alias dihukum mati.
Jangan dilupakan pula mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang terbukti menerima suap pemberian izin budi daya dan ekspor benih lobster . Ada lagi Idrus Marham yang terlibat suap proyek PLTU Riau sehingga harus meringkuk di balik terali besi selama 3 tahun. Belum lagi Imam Nahrawi yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan suap selama 7 tahun. Yang paling anyar adalah mantan Menkominfo Johnny Gerard Plate yang terlibat pembangunan BTS 4G dan Syahrul Yasin Limpo mantan Mentan yang terlibat gratifikasi dan pemerasan.
Itu hanya secuil nama-nama mantan Menteri yang korup. Sebelumnya, banyak lagi. Belum lagi Gubernur. Apalagi Bupati dan Walikota. Sudah dianggap biasa. Yang menjadi persoalan,mengapa para Pejabat itu tidak kapok. Mengapa hukuman penjara yang dijatuhkan kepada mereka tidak mempunyai efek jera terhadap pejabat lainnya ?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor itu, sebenarnya terbilang ringan. Di penjara mereka mendapat banyak remisi. Misalnya remisi HUT Proklamasi, libur keagamaan, pembebasan bersyarat dsbnya. Di balik jeruji besi itu mereka akan dapat menikmati privilege manakala dapat mengatur hubungan khusus dengan petugas Lapas. Istimewanya, lepas dari penjara mereka dapat menduduki kembali jabatan publik yang hilang karena korupsi yang dilakukannya. Mereka tidak menjadi jera. Begitu pula dengan pejabat-pejabat lainnya. Pokoknya, korupsi sebanyak banyaknya. Kalau lagi sial, ditangkap KPK atau Kejaksaan. Diadili dan masuk penjara. Hidup-makan minum- ditanggung negara. Uang hasil jarahan sudah disimpan di tempat yang aman !
Bagaimana di negeri batur ?
Kewajiban negara harus menanggung biaya makan-minum para narapidana itu, sudah diperhitungkan oleh orang Singapura yang ternyata lebih “cerdas”. Di sana, para koruptor prinsipnya tidak dihukum penjara, sehingga negara tak perlu menanggung biaya makan minumnya. Lalu bagaimana ? Aset para koruptor itu, senilai jarahannya akan disita oleh negara. Kemudian, mereka tidak boleh punya bank rekening.Dilarang punya kartu kredit. Apalagi paspor. KTPnya ditandai 3 silang merah, sehingga siapapun yang melihatnya akan mengetahui bahwa pemiliknya adalah mantan koruptor ! Kalau bepergian,kemanapun si mantan Koruptor nggak boleh pakai kendaraan pribadi. Dia harus naik kendaraan umum.Kalau dia sakit, akan dicover oleh perusahaan asuransi yang preminya ditanggung oleh keluarga si mantan. Nah, ruang geraknya menjadi sangat sempit. Pokoknya, dimiskinkan. Moril maupun matriil ! Efisien bukan ?
Masih juga belum kapok ? Tentu, “gaya” Cina merupakan jawabannya. Hak politiknya,seumur hidup dirampas.Begitu juga seluruh properti pribadinya. Amnesty Internasional dan kelompok2 HAM meyakini bahwa ribuan Koruptor di Cina setiap tahun menjalani hukuman menemui ajal, karena di… dor.***