On n’a pas de petrole
Mais on a des id’ees…
( Memang kami tidak punya minyak, tapi kami punya otak…..)
KoranMandala.com -Ketika krisis minyak melanda dunia sekitar 1970 an, bait lagu itu selalu didendangkan anak-anak Perancis di sekolah, di rumah…. atau di manapun ketika mereka sedang bermain. Liwat lagu itu, mereka menghayati benar betapa pentingnya pendidikan bagi suatu negara. Otak rakyat yang cemerlang jauh lebih penting dibanding potensi alam yang melimpah. Seperti juga Perancis, sejarah membuktikan betapa perusahaan Belanda, VOC, ratusan tahun berhasil mengeksploatir kekayaan alam Nusantara, yang tergambar dalam lagu “Dari Barat sampai ke Timur”, berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia… Dengan otak, mereka berhasil mengadu domba raja raja di Nusantara untuk kemudian menjajahnya. 350 tahun lamanya kita bertekuk lutut, jadi budak “meneer en mevrouw” dari suatu negara kecil di pantai Eropa Barat. Luasnya tak lebih dari 42.502 km2, 20 % di antaranya berada di bawah laut. Artinya, tak jauh lebih luas dari Jawa Barat. Konon pula dengan Indonesia yang terdiri dari 17.024 pulau dengan luas 1.905 juta km2 ini. Dengan menggunakan “otak” mereka berhasil menguasai 1.340 suku bangsa di wilayah ini untuk dijadikan “pelampung” agar Nederland tidak tenggelam ditelan laut.
79 tahun yang lalu, para Pahlawan dan Proklamator menyentakkan bangsa ini dari kelicikan penjajah itu. Kita baru sadar, sudah ratusan tahun terlena, potensi alam nan kaya raya dipersembahkan sendiri untuk kepentingan bangsa lain.
Sudahkah kita merdeka ?
Nah, kini kita memperingati ulang tahun ke 79 kemerdekaan itu. Seharusnya, kemerdekaan sebagai pintu gerbang sudah lama kita lalui. Kita sekarang seharusnya sedang meniti jembatan kemakmuran dan keadilan yang menjadi cita-cita bangsa, sebagaimana diharapkan oleh kedua Proklamator. Begitukah ? Untuk menjawab pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat itu, mari kita cermati data-data yang diperoleh BPS ini. Mari, kita berdiri di muka kaca cermin. Perhatikan baik-baik keadaan kita. Siapa dan bagaimana keadaan kita sebenarnya ? Kalau penduduk Indonesia kini tercatat 287 juta jiwa ternyata hampir 71 juta orang di antaranya berpendidikan tak lebih dari tingkat SD. Yang lebih menyedihkan lagi, lebih dari 26 juta kepala, tak menamatkan pendidikan SD dan hampir 10 juta manusia yang tak pernah duduk di bangku sekolah. Apa yang dapat diharapkan dari mereka selain hasil kerja otot ? Tidaklah mengherankan kalau jumlah TKI di seluruh dunia mencapai 4,9 juta jiwa. Di Timur Tengah saja tercatat 1,5 juta orang. Di Malaysia 72.260 dan Hongkong 69.916 orang. Mereka terpaksa meninggalkan tanah air, meninggalkan sanak keluarga walaupun harus menjadi babu atau kuli di negeri orang.Tanpa keberanian seperti itu, mereka hanya akan menambah jumlah pengangguran di negeri sendiri. Hampir 14 juta orang banyaknya. Mereka hidup dari belas kasihan, karena pemerintah tak mampu memberi subsidi seperti di negeri orang lain.
Baca juga: Merdeka Korupsi?
Itulah antara lain data-data yang berhasil ditemui Badan Pusat Statistik. Walaupun perekonomian kita ditengarai tumbuh 5,4 %, tetapi harus diakui bahwa negara kita ini masih menempati urutan ke 53 dari 185 negara yang ada di dunia. Urutan itu diperoleh dengan mencantumkan pendapatan per kapita (PDB) rakyat Indonesia secara optimistik yakni US $ 4,919,7 per tahun. Dengan kurs Rp15.700 per US $, pendapatan kita hampir Rp 6,5 juta per bulan. Betulkah ? Walau dianggap benar, angka itu masih jauh dibanding pendapatan per kapita penduduk negara maju yang mencapai US $ 11,906 per tahun.
Angka-angka itu memang hanya indah di atas kertas. Kenyataan menunjukan bahwa kemiskinan masih menghantui rakyat Indonesia. Jangankan soal sandang dan papan. Untuk urusan panganpun masih merupakan persoalan utama. Masih menurut catatan BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia tak kurang dari 25,22 juta jiwa. Itu berarti lebih dari 10 % jumlah penduduk. Suatu jumlah yang tak sedikit, padahal sudah 79 tahun kita merdeka. Apa yang salah ? Mungkin karena kita hanya mengagung-agungkan keindahan dan potensi alam nan indah. Rayuan pulau kelapa dengan nyiur yang melambai lambai. Tetapi kita abai dan membiarkan bangsa lain yang mengeksploitasi kekayaan alam yang melimpah. Akhirnya, kita menjadi negara yang konsumtif. Beras lebih baik diimpor. Sawah dijadikan perumahan. Begitu juga cabai. Diimpor dari Jepang, padahal “tongkat ditanam” di halaman rumah saja bisa tumbuh. Kendati laut membentang sejauh mata memandang, ternyata negara kita menjadi pengimpor garam.
Atau barangkali , kita memang bangsa yang mau serba “instan”…?***