Oleh : Dedi Asikin
ADA perdebatan panjang dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Kemerdekaan Indonesia) ke I tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Beda pendapat terjadi antara kelompok Islam dengan Nasional (non Islam).
Kelompok Islam ingin agar dasar negara yang akan dibentuk adalah syariat Islam. Sedangkan yang non Islam ingin nasionalisme.
Tentu meski ada sedikit sentimen, mereka punya basis argumen. Yang kelompok Islam merasa wajar karena penduduk nusantara ini mayoritas beragama Islam (waktu itu sekitar 90 %).
Yang non Islam juga merasa benar karena penduduk nusantara ini berkeragaman (pluralitas) baik agama maupun entitas. Jangan bawa-bawa agama dalam urusan negara.
Konon ada 39 peserta yang adu urat. Tapi sepakat, tidak juga didapat, sampai akhirnya ditutup tanggal 1 Juni oleh pemimpin sidang yang juga ketua BPUPKI dr. Radjiman Widiodiningrat.
Mengingat penting dan mendasar adanya dasar negara itu, tanggal 22 Juni, di gedung Djawa Hokokai, beberapa orang anggota BPUPKI, membentuk sebuah Panitia. Panitia itu berjumlah 9 orang diketuai Soekarno dengan wakil ketua Muhammad Hatta.
Karena jumlahnya 9 orang , maka disebut Panitia Sembilan. Ada juga yang menyebut Tim Sembilan. Gak apa apa soal nama mah. It is a name. Yang penting kinerjanya, gawena ceuk urang Bandung mah.
Mereka itu adalah : Sukarno, Muhammad Hatta, Mohammad Yamin, AA Maramis, Ahmad Soebardjo, KH Wahid Hasyim, A. Kahar Mudzakir, H. Agus Salim dan Abi Kusno Tjokrosoejoso.
Tugas mereka adalah mencari masukan dari berbagai pihak kemudian menyiapkan draft tentang dasar negara.