KoranMandala.com – Dalam hitungan hari sebelum pendaftaran calon kepala daerah dan wakil dibuka, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menjungkirbalikkan sistem pilkada yang sudah di ambang pintu. Selain mengubah ambang batas pencalonan peserta pilkada oleh partai politik dan gabungan partai poliitk, MK juga menegaskan kembali bahwa syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung bukan sejak kandidat dilantik sebagai calon terpilih tetapi sejak calon tersebut ditetapkan. Hal tersebut tertuang di dalam Putusan No.60/PUU-XXII/2024.
Putusan mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah, menjadi menarik karena Kamar Tata Usaha (TUN) di Mahkamah Agung pada tanggal 29 Mai yang lalu telah memutuskan bahwa syarat usia minimal itu dihitung sejak calon dilantik. Putusan MA No.23P/HUM/2024 ini merupakan yudicial review terhadap PKPU Pencalonan Pilkada yang ditengarai merupakan karpet merah bagi Kaesang Pangarep , putra bungsu Presiden Jokowi yang dicalonkan oleh Nasdem di DKI atau Jateng dan sesumbar akan membuat kejutan di bulan Agustus ini.
Putusan kedua lembaga tinggi negara itu benar-benar bertolak belakang. Walau keduanya sama-sama merupakan lembaga Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam UU No.48 tahun 2009.
Final and Binding ?
Ketika masih diketuai oleh Anwar Usman, kita beberapa kali dikejutkan oleh putusan MK yang mengundang cibiran masyarakat. Putusan No.90/PUU-XXI/2023 yang mengembangkan karpet merah Cawapres untuk Gibran, anak sulung Presiden Jokowi, merupakan bukti nyata betapa ketentuan hukum telah dilabrak. Sebelumnya, beberapa kali pula Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang dapat dikatagorikan sebagai “tabu”. Misalnya saja, putusan MK yang menetapkan bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi Hakim Konstitusi. Karena itu, putusan mengenai kepentingan diri sendiri itu telah membuat MK menjadi satu-satunya Lembaga yang kebal terhadap pengawasan. Dilengkapi dengan “senjata” bahwa putusannya bersifat final and binding membuat Lembaga yang lahir dari Rahim Reformasi ini semakin perkasa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, setiap putusan MK harus ditaati dan dilaksanakan pada waktu itu juga. Dengan demikian, tidak dikenal upaya hukum apapun yang dapat dilakukan terhadap putusan MK. Artinya, putusan MK itu bersifat erga omnes mengikat siapapun juga. Benarkah demikian ?
Baca juga: Dari Barat sampai ke Timur
Tatkala MK memutuskan bahwa permohonan Peninjauan Kembali (PK) itu boleh diajukan lebih dari satu kali sesuai dengan Putusan No.34/PUU-XI/2013, ternyata Mahkamah Agung (MA) tidak mengindahkannya. Mahkamah Agung kekeuh berpegang pada ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang intinya menyatakan “tidak ada PK atas PK”. Seandainya putusan MK itu yang dilaksanakan maka adagium “litis finiri oported”, setip perkara harus ada akhirnya, tidak perlu lagi dipedomani.
Apa yang dilakukan oleh MA itu, sekarang diikuti oleh Baleg DPR. Dalam hitungan jam, mereka memutuskan menampik Putusan MK itu. Khusus mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah Baleg DPR justru mendukung putusan Mahkamah Agung. Jelas sekali bahwa DPR dulu mengamini Putusan Mahkamah Konstitusi karena Lembaga Tinggi negara itu berhasil diakali olehk ketuanya sehingga berhasil mengeluarkan putusan berupa karpet merah untuk anak sulung Presiden Jokowi agar dapat menjadi Cawapres. Sebaliknya, para “Wakil Rakyat” di Senayan itu sekarang mendukung Putusan MA, karena dengan putusan itu anak bungsu Presiden Jokowi dapat melenggang menjadi Kepala Daerah atau Wakilnya, kendati waktu penetapan sebagai calon, usianya belum mencapai 30 tahun. Inilah rupanya yang dimaksud oleh Kaesang sebagai “kejutan” di bulan Agustus.
Bagi Lembaga Legislatif itu sendiri tidaklah perlu bersikukuh dengan kewenangan yang telah mereka limpahkan kepada Mahkamah Konstitusi, walaupun telah terpatri dalam Konstitusi RI. Bagi mereka, Putusan MK yang final, binding dan erga omnes tidak punya makna apapun sepanjang kepentingan politik menuntut lain.
Para “Wakil-wakil Rakyat” itu, mengamini bahwa hukum adalah hasil upaya politik. Tetapi manakala konstitusi, hukum telah terbentuk mereka tidak setuju kalau syahwat politik harus tunduk kepada konstitusi atau hukum. Inilah pertanda bahwa bangunan hukum kita telah porak poranda***