Oleh : Dedi Asikin
JUJUR saya kaget menyaksikan gerakan rakyat yang serentak dan kompak.
Lebih cepat dan serentak dari Baleg (Badan Legislasi) DPR menyiapkan draft RUU Pilkada.
Tak hanya di Jakarta, gerakan itu nyaris terjadi di semua kota.
Di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Makasar dan lain-lain.
Gerakan Rakyat (mahasiswa dan masyrakat sivil) bertagar “rakyat melawan itu, secara tersirat membuat DPR ngeri ngeri ngeri. Pengesahan RUU itu ditunda dengan dalih tidak memenuhi quorum. Jika benar tidak memenuhi qorum ini berarti banyak anggota DPR, selain fraksi PDIP, yang tak setuju RUU itu. Jika sampai tanggal 27 Agustus itu RUU belum diketok palu, maka putusan MK No.60 dan 70 garing PUU gatar XXII garing 2024 berlaku. Itulah kemenanangan rakyat.
Tinggallah keberanian presiden Jokowi membuat PERPPU.
Padahal putusan MK 70, sarat penjegalan Kaesang Pangarep untuk nyalon.
Gerakan Rakyat yang keras di berbagai kota mendapat dukungan berbagai pihak.
Ada statemen Dewan Guru Besar Universitas Indonesia. Statemen 21 Agustus yang ditanda tangani 62 profesor itu, mengecam DPR dengan program kilat merubah atau menentang keputusan MK, sekaligus memberi dukungan kepada MK dan gerakan rakyat melawan.
Kemudian ada petisi 100.
Petisi yang lahir untuk mendukung people power dimana berkumpul beberapa mantan jendral dan tokoh tokoh civil vocal itu, memberi dukungan gerakan rakyat melawan.
Beberapa orang pengamat politik seperti Djajadi Manan, Rocky Gerung pun tampil. Gerung tetap menuduh bahwa gerakan DPR merubah UU Pilkada itu tak lain berada dibalik nafsu dinasti Jokowi dan menguntungkan KIM PLUS. Di Jakarta, KIM PLUS, bisa menjegal Anies Baswedan kerena PDIP tak bisa mengusung calon. Untuk daerah lain KIM bisa tampil melawan kotak kosong.
Itu niat dan strategi busuk kata Gerung.
Viva la Diva gerakan rakyat m melawan ,
Merdeka!.- ***