KoranMandala.com – Tatkala menyampaikan susunan pengurus baru pada Munas XI Partai Golkar, Bahlil Lahadalia yang sudah didaulat menjadi Ketua Umum, meminta perhatian anak buahnya agar lebih paten lagi. Maksudnya bekerja lebih serius dibanding kepengurusan yang lalu. Kalau tidak, kalau kita main-main, begitu kata pak Ketum, “Raja Jawa” bisa mencelakakan kita. Tak dijelaskannya siapa yang dimaksudnya dengan Raja Jawa itu. Airlangga Hartanto, mantan Ketum Golkar yang digantikan Bahlil,menebaknya secara letterlijk, harfiah. Raja Jawa, begitu kata Airlangga, sudah tidak ada sekarang. Hanya dikenal zaman kerajaan dulu.
Pernyataan polos Airlangga itu tentu saja tidak menjawab “teka teki” yang dilontarkan oleh Bahlil. Rupanya, Bahlil, anak Papua itu masih memainkan frasa-frasa yang berasal dari sudut pandang yang “Jawa sentris”. Sebagai “Orang Seberang”, orang Jawa dianggap lebih superior. Karena itu kehidupan budaya,ekonomi dan politik di pulau Jawa sangat mendominasi wilayah lain di luar Jawa.Tentu saja istilah “Raja Jawa” yang digunakan oleh Bahlil itu berasal dari sudut pandang kolonial dengan politik devide et impera-nya.
Merasa tak perlu menyingkap tabir yang dipasang oleh Bahlil, para peserta Munas XI Partai Golkar yang diselenggarakan di JCC Jakarta itu menjadi makfum bahwa yang dimaksud oleh Ketum mereka yang baru itu adalah Jokowi, yang sekaligus adalah Presiden RI. Jokowi ibarat menemukan “mutiara hitam” dari Papua, mengangkat dan membukakan pintu baginya untuk menjadi orang terdekat dan kepercayaan Presiden. Tidaklah mengherankan kalau Bahlil kemudian bersikap “ Daulat Tuanku”.
Baca juga: Kejutan Agustus
Operasi senyap
Menjelang Oktober, di ujung kepemimpinannya sebagai Presiden RI, Jokowi ternyata semakin memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Kedudukannya sebagai Presiden tidak lagi diperhitungkannya dengan seksama. Kalau seorang pemimpin biasanya dan seharusnya “pusing tujuh keliling” memikirkan legacy apa yang bakal ditinggalkannya bagi bangsa ini, ternyata Jokowi “pusing tujuh keliling” dan berjuang mati-matian meninggalkan “legacy” untuk keluarganya. Ia ternyata tidak berhasil meninggalkan maha karya terbaik untuk bangsa ini, khususnya karakter bangsa yang justru semakin merosot.
Di ujung kepemimpinannya, banyak terjadi kebijakan yang diambil dengan melanggar hukum serta aturan dengan tujuan bukan untuk kepentingan negara dan bangsa, tetapi keluarga. Dengan piawainya, Jokowi meminjam tangan lembaga-lembaga Legislatif dan Yudikatif. Formal, putusan kedua lembaga negara itu, orisinil seolah-olah merupakan inisiatif sendiri untuk kepentingan nusa dan bangsa. Sulit dibuktikan bahwa di balik “inisiatif” lembaga negara itu terdapat invisible hand yang mengendalikan apa dan bagaimana lembaga-lembaga itu harus bertindak. “Operasi senyap” ini semakin sering digunakan Jokowi karena dia memahami betul bahwa maksudnya-katakanlah untuk memberi fasilitas tertentu bagi keluarganya- tidak akan mungkin terlaksana tanpa harus mengubah undang-undang. Manakala masalah ini dipertanyakan kepadanya, dengan ringan ia akan menjawab tidak tahu. Dengan suara baritonnya yang khas, ia akan memberikan jawab yang normatif, bahwa persoalan itu bukanlah urusannya. Itu adalah gawe Lembaga Legislatif atau Yudikatif. Invisible hand semacam ini pada jaman nenek moyang kita dulu dikenal sebagai “lempar batu sembunyi tangan”. Batu dilempar oleh si pelaku. Sang korban kena lemparan. Menjerit kesakitan, tetapi ia tak akan menemukan siapa pelakunya, karena si pelaku yang lihai cepat-cepat menyembunyikan tangannya. Dengan meyakinkan ia akan menunjuk orng lain sebagai pelaku, manakala tudingan mengarah kepadanya. Putusan Mahkamah Konstitusi serta Mahkamah Agung yang membentangkan karpet merah bagi putera sulung dan bungsunya, merupakan contoh nyata. Sulit dipahami betapa Lembaga Tinggi negara yang penuh dengan wibawa dengan mudah dapat dikendalikan oleh seorang Presiden yang bernama Jokowi. Tidaklah mengherankan kalau Bahlil Lahadalia,sang Ketum Golkar wanti-wanti kepada anggota-anggotanya agar jangan main-main dengan Raja Jawa ini, kalau tak mau celaka.
Rupanya Bahlil lupa bahwa di atas langit masih ada langit. Kalau Yang Maha Kuasa tak berkehendak, siasat atau strategi apapun yang digunakan manusia -tak perduli dia seorang Presiden atau Raja- tak akan menemui sasaran.
Demo yang terjadi baru-baru ini di depan Gedung DPR dan DPRD di beberapa kota merupakan bukti nyata !***
Baca juga: Dari Barat sampai ke Timur