Kejayaan itu terjadi di masa raja Hayam Wuruk, cucu Raden Wijaya (1350-1389) yang didampingi maha patih Gajah Mada.
Tapi karena terjadi konflik internal dan perang saudara antara menantu dan anak kandung Hayam Wuruk, maka pelan-pelan tapi pasti kerajaan itu runtuh pada tahun 1538.
Dalam banyak hal, shandhiakala ning Majapahit itu rasa-rasanya analog dengan pemerintahan rezim Joko Widodo sekarang. Ada arogansi, ego sektoral, otoritarian dan ketidak adilan.
Jokowi itu ibarat pesawat terbang. Ketika take off, mulus tak ada sesuatu. Tetapi ketika hendak landing terjadi turbulensi yang menggoyang dan mengoyak tubuh pesawat.
Di awal kekuasaan, tukang kayu dari pinggir Kali Anyar itu mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Angka kepuasan publik berada dipusaran 80%. Itu berlangsung selama periode pertama (2014-2019) dan paruh periode kedua.
Dari hasil liti, kepuasan publik Itu, selain karena dia sederhana, merakyat, suka blusukan juga senang memberi bansos dan BLT. Padahal sebenarnya duitnya boleh ngutang, yang nanti rakyat juga yang harus bayar.
Lewat kaki tangan, oligarki dan ponggawa istana, 2021 berubah dan berulah. Mula-mula ada wacana 3 periode. Alasannya karena terjadi pandemic covid19 sehingga banyak program tidak terlaksana. Tapi ide itu ditolak berbagai pihak. Termasuk PDIP/Megawati yang mengusung dan membesarkannya.
Mentok soal 3 periode muncul ide perpanjangan masa jabatan sampai 2027.
Ketika itu pun ditolak, ia mulai ngadat. Partainya sendiri diobok obok. Ganjar Pranowo calon presiden PDIP kena prank. Semula berlaga mendukung. Tapi kemudian dia mendukung Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anaknya Gibran Rakabuming Raka.
Terakhir, tanpa pamit ia kabur dari kandang banteng.