Nyoman Sukena namanya. Dari namanya kita tahu bahwa dia orang Bali. Pulau Dewata yang penduduknya dikenal relatif jujur.
Tiba-tiba saja namanya menjadi terkenal, karena viral di media sosial. Tangannya diborgol, ia diharuskan mengenakan rompi tahanan yang berwarna oranye. Apakah dia seorang pembunuh ? Atau barangkali koruptor kelas kakap ?
Ternyata bukan !
Ia digelandang, tak ubahnya penjahat besar. Jerit tangisnya tak dihiraukan Polisi. Ia dijebloskan ke ruang tahanan karena dituduh memelihara….landak. Binatang yang dipenuhi duri itu adalah pemberian dari mertuanya.
Ia pelihara dengan penuh kasih sayang sampai beranak pinak, tapi bukan untuk diperjual belikan. Bukan untuk disate, makanan yang banyak juga diburu orang karena menganggapnya dapat meningkatkan vitalitas.
Ternyata “peri kebinatangan”nya itulah yang membawa petaka bagi Pak Nyoman. Ia dituduh memelihara satwa yang dilindungi.
UU No. 5 Tahun 1990
Landak Jawa yang dipelihara oleh Pak Nyoman memang tergolong satwa yang dilindungi. Hal itu diatur dalam Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Mungkin karena telah lebih dari 30 tahun diundangkan, peraturan ini hilang dari ingatan orang. Tetapi karena tidak pernah dicabut, peraturan itu tetap merupakan undang-undang positif.
Artinya, bila dilanggar, ancaman hukuman menanti. Ngga tanggung-tanggung. Lima tahun dan denda sebanyak Rp100 juta.
Sebenarnya bukan hanya Landak Jawa seperti yang dipelihara Pak Nyoman saja yang digolongkan sebagai satwa yang dilindungi. Banyak sekali satwa lainnya. Yang hidup di air maupun di darat.
Menurut Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentang jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi mulai dari satwa yang dikenal dengan nama Trenggiling, Pelanduk, Lutung hingga Landak. Tak kurang dari 137 species.
Karena banyak ragamnya, adalah wajar kalau sulit diketahui apakah binatang tertentu termasuk yang dilindungi atau tidak. Lebih wajar lagi karena undang-undang yang mengaturnya sudah berusia 34 tahun.
Itulah sebabnya mengapa Pak Nyoman dimintai pertanggungjawabannya secara hukum dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun.
Dibandingkan dengan para koruptor yang kebanyakan “lenggang kangkung” tak pernah dimintai pertanggungjawaban, nasib yang menimpa Pak Nyoman dianggap tak adil. Ibarat pisau, hukum dianggap hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Di dalam ilmu hukum ada adagium yang menyatakan ignora legis est lata culpa. Maknanya, kita tidak dapat menepis tuntutan hukum dengan dalih bahwa kita tidak mengetahui hukumnya.
Soalnya, sekali peraturan itu sudah diundangkan, otomatis kita dianggap mengetahui keberadaan undang-undang tadi. Karena itu, agar pengalaman pak Nyoman tidak terulang adalah bijak manakala kita memeriksa dulu sebelum memelihara binatang. Siapa tahu, termasuk satwa yang dilindungi.
Khusus untuk kasus Pak Nyoman yang tak menyadari bahwa binatang piaraannya termasuk satwa yang dilindungi, adalah arif manakala diberlakukan restorative justice.
Dengan pengalaman yang pahit ini, tentu pak Nyoman tidak akan mengulangi perbuatannya. Apa yang dia alami pastilah menjadi pelajaran pula bagi orang lain.
Bukankah pidana itu upaya hukum terakhir ?*