KoranMandala.com -Setiap musim hujan, kawasan Dayeuhkolot di Kabupaten Bandung kembali dilanda banjir. Jalan Raya Dayeuhkolot, Cijagra, Bojongsari, Babakan Leuwi Bandung, hingga Bolero hampir selalu menjadi daerah pertama yang terendam, seiring naiknya permukaan Sungai Citarum.
Warga kawasan tersebut sudah puluhan tahun menderita akibat banjir musiman. Buruknya sanitasi membuat mereka rentan terkena berbagai penyakit, sementara rumah-rumah mereka sering rusak dan harta benda hilang.
Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini, bahkan Presiden Joko Widodo, Gubernur Ridwan Kamil, dan Kementerian PUPR sudah turun tangan. Beberapa infrastruktur seperti kolam retensi dan polder telah dibangun, termasuk Kolam Retensi Cieunteung dan Andir, serta empat polder lainnya.
Namun, meski telah menghabiskan anggaran hingga Rp 976 miliar, masalah banjir di Dayeuhkolot tak kunjung teratasi. Kolam Retensi Cieunteung dan Andir yang dibangun dengan biaya Rp 203 miliar dan Rp 141 miliar masing-masing, tidak mampu mengurangi dampak banjir. Bahkan, kolam retensi yang dibangun hanya sekitar 100 meter dari lokasi banjir tetap tidak efektif.
Selain itu, Floodway Cisangkuy, yang menelan anggaran Rp 632 miliar, turut dibangun untuk menangani banjir di Bandung Selatan.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah proyek-proyek penanganan banjir ini menggunakan teknik yang tepat? Mengapa infrastruktur bernilai miliaran rupiah tidak dapat mengatasi banjir yang terus melanda Dayeuhkolot?
Ironisnya, saat banjir kembali terjadi, Kolam Retensi Cieunteung hanya terisi setengah. Bahkan, sejumlah warga terlihat memancing di kolam yang setengah terisi tersebut.
Dengan hampir Rp 1 triliun yang telah digelontorkan, solusi untuk mengatasi banjir Dayeuhkolot masih belum jelas. Apa yang akan dilakukan pemerintah untuk membebaskan warga dari penderitaan ini?