KORANMANDALA.COM – Keberadaan Patahan atau Sesar Lembang menjadi ancaman nyata bagi warga di kawasan Bandung Raya terutama di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Apalagi, Sesar Lembang menjadi salah satu sesar paling aktif yang bisa menimbulkan gempa dengan kekuatan magnitudo 6,5 hingga 7.
Lalu bagaimana mitigasi kebencanaan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat terhadap ancaman Sesar Lembang.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jawa Barat, Edy Heryadi menerangkan, mitigasi kebencanaan Sesar Lembang terbagi menjadi dua yaitu struktural dan non struktural.
Mitigasi struktural berkaitan dengan penataan infrastruktur yang dilakukan oleh perangkat daerah. Misalkan, rumah tahan gempa dilakukan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim).
“Biasanya Disperkim memberikan arahan maupun sosialisasi teknis mendirikan bangunan di zona Sesar Lembang,” kata Edy belum lama ini kepada Koran Mandala.
Sementara, BPBD menjalankan fungsi mitigasi non struktural dengan meningkatkan pemahaman terhadap potensi ancaman dan langkah yang harus dilakukan ketika terjadi bencana.
“Sosialisasi pemahaman, pengetahuan, simulasi tata cara perlindungan diri, evakuasi mandiri, dan upaya pertolongan pertama saat terjadi bencana juga dilakukan,” ujarnya.
Pembentukan Desa Tangguh Bencana
Menurutnya, sosialisasi ancaman Sesar Lembang ini disampaikan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana). BPBD Jawa Barat mencoba membentuk komunitas di Destana yang diisi oleh relawan yang sudah memahami langkah yang harus dilakukan untuk penanganan bencana.
“Ketika terjadi bencana, mereka bisa melakukan upaya tanggap daerah di internal sebelum nanti BPBD tiba di lokasi,” tuturnya.
Dia menyebut penangan bencana tidak bisa hanya mengandalkan satu instansi saja karena BPBD memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan jarak yang cukup jauh. Oleh karena itu, komunitas di Destana bisa melakukan penanganan pertama ketika terjadi bencana.
Kemudian, ketika terjadi gempa bumi masyarakat diminta untuk segera menuju ruangan terbuka seperti lapangan maupun di luar ruangan. Hal itu dilakukan agar mengurangi potensi tertimpa reruntuhan bangunan yang terdampak gempa.
“Itu untuk mengindari jatuhnya korban jiwa. Jadi kami coba membuat pola khusus untuk pemberdayaan Destana sesuai dengan Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012,” kata dia.
Kendala anggaran dalam pelaksanaan Destana
Edy mengungkapkan, kewenangan penanggulangan kebencanaan terdiri dari lintasan pemerintahan. Program Destana merupakan kewenangan pemerintah kabupaten kota sedangkan provinsi hanya sebagai pendamping maupun pembina.
Kendati berperan sebagai pembina, pihaknya terus memberikan pembinaan kepada tim pembina Destana kabupaten kota yaitu BPBD kabupaten kota. Namun, bedasarkan evaluasi yang sudah dilakukan, itu bergantung pada political will atau keinginan politik kepala daerah terhadap pengalokasian atau penganggaran penanganan bencana.
Menurutnya, ada kepala daerah yang antusias dan ada yang kurang peduli terhadap penganggaran penanganan bencana. Meskipun ada banyak faktor lain walaupun yang paling dominan adalah keterbatasan anggaran.
“Jadi banyak faktor khusus untuk kegiatan penanggulangan bencana. Cuman yang lebih dominan itu lebih keterbatasan anggaran. Tapi penanggulangan bencana itu pola pikirnya harus diubah. Pola pikir yang selama ini tanggap darurat pascakejadian menjadi upaya pencegahan dan kesiapsiagaan masyarakat,” kata dia.
Pengawasan pembangunan infrastruktur di kawasan Sesar Lembang
Edy menerangkan, pihak terkait harus meningkatkan pengawasan terhadap pembangunan infrastruktur di Kawasan Bandung Utara. Oleh karena itu, tim pengendali Kawasan Bandung Utara harus lebih bisa menyosialisasikan, pengendalian, dan pembangunan di daerah rawan.
Dia menilai pendirian bangunan di zona satu Sesar Lembang itu harus mengacu rencana tata ruang wilayah (RTRW). Apabila ancuan tersebut tidak dihiraukan, dia khawatir bangunan yang ada di zona satu rentan menimbulkan bahaya kalau terjadi gempa bumi.
“Jangan sampai penduduk atau pengusaha membangun di daerah Sesar Lembang. Kalau terjadi gempa, bangunan sekuat apa pun pasti akan hancur. Makanya Disperkim harus memberikan sosialisasi bagaimana cara membangun tahan gempa, bencana,” kata dia menerangkan.
Simulasi kebencanaan melalui Satuan Pendidikan Aman Bencana
Edy menambahkan, upaya mitigasi yang dilakukan oleh BPBD Jawa Barat yaitu melalui Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Hal itu didukung dengan metode buku saku dan simulasi kebencanaan yang menyasar unsur sekolah.
“Jadi ada Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 tentang pedoman penyelenggaraan program Satuan Pendidikan Aman Bencana,” tambahnya.
Dia menerangkan, Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 tentang SPAB ini bertujuan untuk memberitahukan, menyosialisasikan, dan memberdayakan sekolah untuk penanggulangan bencana.
Mengingat, gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Cianjur beberapa waktu lalu banyak menelan korban dari kalangan sekolah. Sebab, gempa bumi di Kabupaten Cianjur terjadi ketika pembelajaran sedang berlangsung.
“Kalau kita lihat pengalaman gempa bumi Cianjur ternyata korbannya banyak dari anak-anak sekolah karena pada jam sekolah,” terangnya.
Merujuk pada kewenangan provinsi, pihaknya melakukan sosialisasi SPAB di sekolah tingkat SMA, SMK, dan SLB. Dia menyebut sosialisasi SPAB itu sudah berjalan selama dua tahun ke belakang.
“Tahun 2022 di 24 sekolah, tahun sekarang di 50 sekolah yang ada di Jawa Barat,” ujar Edy.
Dia mengaku warga begitu antusias terhadap simulasi tanggap bencana yang dilakukan secara berkala maupun pada peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB).
Pasalnya, Sesar Lembang itu setiap tahun sering muncul terutama di penghujung tahun. Belum lagi ada anggapan masyarakat terkait gempa bumi Cianjur yang berhubungan dengan Sesar Lembang.
“Jadi kesadaran masyarakat tumbuh apalagi sekarang informasi mudah diakses. Jadi bencana yang terjadi di mana pun seperti di Maroko, mengingatkan masyarakat dan akhirnya mereka butuh pengetahuan penanggulangan bencana termasuk simulasinya,” katanya.
Pada HKB 2023 yang diselenggarakan pada 31 Mei 2023 di lapangan sepak bola depan University Advent Indonesia (UNAI), BPBD Jawa Barat melakukan simulasi besar-besaran. Dalam simulasi itu, seluruh instansi maupun sekolah diberikan sosialisasi, simulasi, dan edukasi terkait kebencanaan terutama ancaman Sesar Lembang.
“Totalnya ada 500 orang. Alhamdulillah masyarakat antusias mengikuti simulasi. Jadi tingkat kepedulian masyarakat terhadap ancaman Sesar Lembang sudah tumbuh di masyarakat,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Sesar Lembang bisa dikatakan sebagai ‘monster yang tengah tertidur’. Jika monster itu tiba-tiba terbangun dan mengamuk, maka bisa berpotensi untuk meluluhlantakkan wilayah Bandung Raya, yang diyakini terbentuk dari bekas danau purba―hasil letusan Gunung Sunda―yang terbentang dari Cicalengka hingga Padalarang, serta dari Dago hingga ke perbatasan Soreang dan Ciwidey. Luasnya pun diperkirakan mencapai tiga kali lipat dari luas Provinsi DKI Jakarta.
Penyelidik Bumi Madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, Supartoyo pun membenarkan jika Sesar Lembang ini aktif dan bergerak sekaligus akan mengakibatkan efek gempa bumi dahsyat karena didukung dengan keberadaan danau purba itu sendiri.
“Kalau secara geologi Kota Bandung itu merupakan endapan tanah lunak. Justru ini yang bisa memperkuat guncangan gempa, bahkan bisa terjadi likuifaksi,” kata Supartoyo kepada Koran Mandala saat dijumpai di kantornya, Selasa, 12 September 2023.
Menurutnya, jika gempa bumi akibat Sesar Lembang terjadi, ada tiga ancaman bahaya susulan, yang meliputi bahaya guncangan, sasaran permukaan, dan likuifaksi (pelulukan tanah).
“Bahaya sasaran permukaan ini yang berpotensi merobek permukaan tanah. Sementara bahaya susulan bisa mengakibatkan likufaksi, di antaranya tanah longsor. Ini sempat terjadi saat tragedi gempa bumi di Cianjur beberapa waktu lalu,” kata dia.
Supartoyo menambahkan, sebetulnya bukan hanya Sesar Lembang yang patut diwaspadai. Sebab masih ada sesar-sesar aktif lainnya yang ada di kawasan Jawa Barat, seperti Sesar Cimandiri dan Sesar Garsela (Garut Selatan).
Gempa bumi akibat aktivitas Sesar Lembang pernah beberapa kali terjadi. Antara lain di Gunung Halu pada tahun 2005, Tanjungsari pada tahun 2010, Ujungberung dan Cisarua pada tahun 2011.
Dari beberapa peristiwa gempa itu, gempa di Cisarua yang tercatat merusak dengan kekuatan Magnitudo 3,3. Ratusan rumah warga di Kampung Muril, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat (KBB), mengalami rusak parah.
Kekuatan magnitudo 3,3 itu bukanlah potensi puncak aktivitas dari Sesar Lembang. Sesar Lembang yang memanjang sejauh 22-29 km mampu memicu gempa hingga mencapai kekuatan maksimal 6,8 skala Richter (SR) 14 dengan maksimum magnitudo gempa Sesar Lembang adalah Mw 6,4-7 dan berdampak pada sekeliling Kota Bandung (Rismawati, 2019: 25).
“Sesar Lembang, selain sebagai media rambat gelombang gempa bumi dari sesar-sesar aktif lainnya di Jawa Barat, dapat juga menjadi sumber gempa bumi itu sendiri,” tulis Rismawati dalam jurnal berjudul “LEMBANG FAULT: POTENTIAL DISASTER IN URBAN AREA OF BANDUNG BASIN (A LEGAL REVIEW).”
Pakar Gempa Bumi Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano membenarkan jika Sesar Lembang merupakan satu di antara banyaknya sesar di Indonesia yang berpotensi membahayakan jika bergerak sekaligus.
Namun potensi bahayanya seperti apa, berapa jumlah kerusakan yang ditimbulkan, hingga jumlah korban jiwa tak bisa diterka-terka.
Hanya saja ia meminta seluruh masyarakat untuk waspada dan menyadari akan adanya bahaya gempa bumi yang diakibatkan aktivitas Sesar Lembang ini.
Disinggung mengenai apakah potensinya mirip seperti gempa bumi di Maroko, Irwan Meilano menegaskan tidak. Sebab, antara potensi Sesar Lembang dan gempa bumi yang terjadi di Maroko sangat berbeda.
“Tidak bisa jika membandingkan gempa Maroko dengan potensi Sesar Lembang. Karena keduanya berbeda,” kata Irwan Meilano.(*)