KORANMANDALA.COM – Minimnya aktivitas dari Sesar Lembang patut menjadi perhatian masyarakat di wilayah Bandung Raya. Ancaman bahaya dari satu di antara beberapa sesar yang aktif di Jawa Barat ini nyata adanya.
Sesar Lembang yang membentang sepanjang 29 kilometer dari Gunung Manglayang hingga Padalarang melalui Lembang, ini merupakan sesar aktif yang miskin gempa.
Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasius Geofisika Kelas 1 Bandung, Virga Librian mengatakan, secara teori, sesar yang sering melepaskan gempa justru lebih bagus.
Satu dekade terakhir, Sesar Lembang ini baru beberapa kali melakukan pergerakan. Berdasarkan catatan, gempa bumi akibat aktivitas Sesar Lembang antara lain, di Gunung Halu pada tahun 2005, Tanjungsari pada tahun 2010, Ujungberung dan Cisarua pada tahun 2011.
“Yang paling parah itu terjadi pada Agustus 2011 lalu, bisa merusak ratusan rumah hanya dengan magnitudo 3,3,” ujar Virga kepada Koran Mandala, belum lama ini saat ditemui di kantornya.
Dengan miskin gempa, Sesar Lembang yang dianggap masih tertidur ini perlu menjadi kewaspadaan dan kekhawatiran bersama. Ditakutkan, patahan aktif ini tengah mengakumulasi energi sehingga ketika bergerak sekaligus, kekuatannya bisa maksimal.
“Jadi logikanya begini. Misal ada orang, kalau stresnya dipendam terlalu lama, sekalinya marah pasti meledak-ledak,” ucapnya.
Menurut Virga, Sesar Lembang memiliki pergerakan sesar geser mengiri. Kekuatan maksimal yang bisa dihasilkan mencapai magnitudo 6,8.
Jika kekuatan gempa dihasilkan maksimal, maka wilayah Bandung Raya bisa diguncang gempang dengan kekuatan MMI 6 hingga 7.
“MMI ini merupakan satuan untuk mengukur kekuatan gempa yang dirasakan manusia dan ini sifatnya objektif. MMI ini jika melebihi 5 maka sifat gempanya menghancurkan,” kata Vigra.
BMKG Bandung, lanjut dia, sudah membuat skenario kegempaan. Jika Sesar Lembang ini bergerak 6,8 magnitudo dengan kedalaman 10 km, dampaknya akan terasa di wilayah Bandung Raya, namun khusus untuk kota Bandung akan merasakan 7 MMI.
“Dampak 7 MMI bisa sangat merusak, hal itu karena Kota Bandung merupakan kawasan bekas cekungan atau danau purba. Sehingga, secara geografis cukup rawan jika mendapatkan guncangan dengan kekuatan 6,5-7 magnitudo,” ucapnya.
“Jadi efek dari gempa itu bisa membuat lapis tanah pecah dan akan menaikkan permukaan air dan membuat tanah semi liquid dan mengakibatkan bangunan di atasnya turun,” tambahnya.
Menurutnya, pergerakan tanah di Sesar Lembang relatif lambat sekitar 2-14 milimeter per tahun. BMKG sudah menyiapkan tiga jenis alat yang dipasang sepanjang Sesar Lembang untuk memonitoring pergerakannya.
“Yang sudah dipasang itu 5 seismografer, 5 akselerometer, dan 6 intenity meter. Ini untuk mendukung optimalisasi pengamatan gempa bumi akibat pergerakan sesar,” kata dia.
Berdasarkan disertasi Doktor Mudrik R Daryono dan kawan-kawan, Sesar Lembang ini sudah memiliki siklus perualangan untuk melepaskan energi yang masih terpendam.
Dimana dalam jurnal yang terbit pada 13 Desember 2018 lalu itu menyatakan bahwa Sesar Lembang ini memiliki siklus perulangan setiap 170-670 tahun, dan saat ini sudah masuk di fase 570 tahun dari awal mula melepaskan energi.
“Namun yang harus dicatat kekuatan yang bisa dihasilkan dari gerakan sesar Lembang mencapai 6,5-7.0 Magnitudo,” kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Sesar Lembang bisa dikatakan sebagai ‘monster yang tengah tertidur’. Jika monster itu tiba-tiba terbangun dan mengamuk, maka bisa berpotensi untuk meluluhlantakkan wilayah Bandung Raya, yang diyakini terbentuk dari bekas danau purba―hasil letusan Gunung Sunda―yang terbentang dari Cicalengka hingga Padalarang, serta dari Dago hingga ke perbatasan Soreang dan Ciwidey. Luasnya pun diperkirakan mencapai tiga kali lipat dari luas Provinsi DKI Jakarta.
Penyelidik Bumi Madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, Supartoyo pun membenarkan jika Sesar Lembang ini aktif dan bergerak sekaligus akan mengakibatkan efek gempa bumi dahsyat karena didukung dengan keberadaan danau purba itu sendiri.
“Kalau secara geologi Kota Bandung itu merupakan endapan tanah lunak. Justru ini yang bisa memperkuat guncangan gempa, bahkan bisa terjadi likuifaksi,” kata Supartoyo kepada Koran Mandala saat dijumpai di kantornya, Selasa, 12 September 2023.
Menurutnya, jika gempa bumi akibat Sesar Lembang terjadi, ada tiga ancaman bahaya susulan, yang meliputi bahaya guncangan, sasaran permukaan, dan likuifaksi (pelulukan tanah).
“Bahaya sasaran permukaan ini yang berpotensi merobek permukaan tanah. Sementara bahaya susulan bisa mengakibatkan likufaksi, di antaranya tanah longsor. Ini sempat terjadi saat tragedi gempa bumi di Cianjur beberapa waktu lalu,” kata dia.
Supartoyo menambahkan, sebetulnya bukan hanya Sesar Lembang yang patut diwaspadai. Sebab masih ada sesar-sesar aktif lainnya yang ada di kawasan Jawa Barat, seperti Sesar Cimandiri dan Sesar Garsela (Garut Selatan).
Sesar Lembang yang memanjang sejauh 22-29 km mampu memicu gempa hingga mencapai kekuatan maksimal 6,8 skala Richter (SR) 14 dengan maksimum magnitudo gempa Sesar Lembang adalah Mw 6,4-7 dan berdampak pada sekeliling Kota Bandung (Rismawati, 2019: 25).
“Sesar Lembang, selain sebagai media rambat gelombang gempa bumi dari sesar-sesar aktif lainnya di Jawa Barat, dapat juga menjadi sumber gempa bumi itu sendiri,” tulis Rismawati dalam jurnal berjudul “LEMBANG FAULT: POTENTIAL DISASTER IN URBAN AREA OF BANDUNG BASIN (A LEGAL REVIEW).”
Pakar Gempa Bumi Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano membenarkan jika Sesar Lembang merupakan satu di antara banyaknya sesar di Indonesia yang berpotensi membahayakan jika bergerak sekaligus.
Namun potensi bahayanya seperti apa, berapa jumlah kerusakan yang ditimbulkan, hingga jumlah korban jiwa tak bisa diterka-terka.
Hanya saja ia meminta seluruh masyarakat untuk waspada dan menyadari akan adanya bahaya gempa bumi yang diakibatkan aktivitas Sesar Lembang ini.
Disinggung mengenai apakah potensinya mirip seperti gempa bumi di Maroko, Irwan Meilano menegaskan tidak. Sebab, antara potensi Sesar Lembang dan gempa bumi yang terjadi di Maroko sangat berbeda.
“Tidak bisa jika membandingkan gempa Maroko dengan potensi Sesar Lembang. Karena keduanya berbeda,” kata Irwan Meilano.(*)