KORANMANDALA.COM – Dinilai bertentangan dengan Undang-Undang TNI, Presiden Joko Widodo memberikan gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto.
Pemberian pangkat istimewa itu dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024 yang diterbitkan pada tanggal 21 Februari 2024.
Keputusan tersebut mendapat beragam tanggapan dari sejumlah pengamat militer dan organisasi masyarakat sipil.
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, pengamat militer, dia mempertanyakan dasar hukum dari pemberian pangkat istimewa Jenderal Kehormatan kepada Prabowo.
Menurutnya, undang-undang yang terkait hanya mengatur pemberian kenaikan pangkat kehormatan kepada prajurit dan perwira aktif, dan menurut pengetahuannya, belum ada perubahan dalam undang-undang tersebut.
Sementara itu Direktur Setara Institut, Halili Hasan menilai UU TNI tidak mengenal istilah bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran.
Menurut Halili, kenaikan pangkat berupa bintang di pundak atau pangkat militer untuk perwira tinggi hanya dapat diberikan kepada tentara aktif, bukan kepada purnawirawan atau pensiunan.
Menurutnya, secara hukum, kenaikan pangkat kehormatan semacam itu tidak syah dan bertentangan dengan undang-undang. Dia mengutip Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang mengatur bahwa pemberian bintang militer sebagai tanda kehormatan hanya boleh berupa Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer.
Halili juga menyatakan bahwa pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo akan menimbulkan masalah jika dianggap sebagai pemberian pangkat militer perwira tinggi.
Karena Prabowo tidak berhenti karena pensiun, melainkan diberhentikan dari dinas kemiliteran melalui Keputusan Presiden.