Menurutnya, ini akan menjadi kontradiksi jika seseorang yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran.
Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, juga mengkritik keputusan Jokowi dalam memberikan gelar Jenderal Kehormatan, menyebutnya sebagai langkah yang keliru.
Menurut Gufron, pemberian gelar tersebut merupakan anomali tidak hanya dalam sejarah militer tetapi juga dalam politik Indonesia secara keseluruhan. Gufron juga menyinggung bahwa pemberian gelar tersebut bisa dianggap sebagai langkah politis dari Jokowi, yang juga bisa menyakiti korban pelanggaran HAM dan menghilangkan pertanyaan tentang keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran HAM masa lalu.
Gufron menyimpulkan bahwa pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada perwira yang sudah diberhentikan dari dinas kemiliteran sebenarnya adalah langkah politis yang merusak kehormatan TNI dan mempermalukan mereka.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berpendapat bahwa pemberian pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo tidaklah sesuai.
Menurutnya, Prabowo memiliki catatan buruk dalam karier militernya, termasuk terlibat dalam beberapa kasus penyimpangan dan kesalahan, seperti penculikan aktivis prodemokrasi pada tahun 1998, yang menyebabkan dia diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Menurut Isnur, memberikan pangkat kehormatan kepada seseorang yang sudah dipecat adalah suatu tindakan yang melukai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme di dalam TNI.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mengecam keputusan pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo.
Kelompok tersebut, yang terdiri dari 20 organisasi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, menganggap penganugerahan bintang empat kepada Prabowo sebagai langkah yang keliru.
Mereka menyinggung sebuah keputusan dari Dewan Kehormatan Perwira yang menetapkan Prabowo bersalah atas beberapa penyimpangan dan kesalahan, termasuk penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1998.