Serta kerusakan dokumen dan kurang akuratnya administrasi pertanahan seperti contohnya tidak memiliki bukti yang kuat dapat menjadi dasar terjadinya banyak kasus sengketa tanah.
Kepada Koranmandala.com, ahli pertanahan dan agraria ITB ini juga menyebutkan kemungkinan lainnya yang menyebabkan perampasan tanah.
“Kemudian bisa juga karena selama masa kolonial Belanda, terjadi banyak kasus perampasan tanah secara paksa dari penduduk asli atau pemilik tanah sebelumnya. Setelah kemerdekaan, banyak dari tanah-tanah ini menjadi subjek sengketa karena klaim kepemilikan yang bertentangan,” ucapnya.
Baca Juga: Babak Baru Sengketa Tanah Dago Elos, Muller Bersaudara Ditetapkan Sebagai Tersangka
Mengingat di Indonesia memiliki Undang-Undang Pokok Agraria namun masih banyak sekali kasus sengketa tanah seperti kasus Dago Elos. Andri lantas memberikan pandangannya terkait fungsi dari UU tersebut.
Akademisi ITB ini menyebutkan bahwa alasan masih terjadi sengketa meskipun adanya UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yaitu ketidakjelasan implementasi undang-undang tersebut sebagai landasan hukum.
“Beberapa alasan mengapa sengketa tersebut masih sering terjadi adalah karena adanya ketidakjelasan Implementasi UU Pokok Agraria sebagai landasan hukum. Implementasinya sering kali tidak jelas atau terhambat oleh berbagai faktor, seperti kekurangan sumber daya manusia, kelemahan sistem administrasi tanah, atau kurangnya koordinasi antarlembaga terkait. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan meningkatkan risiko sengketa,” kata Andri.
Alasan lainnya yaitu adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum sehingga bisa mengakibatkan kekurangan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran terkait kepemilikan tanah dan penggunaan sumber daya alam.
Akademisi ITB ini juga mengatakan bahwa faktor seperti korupsi, nepotisme, atau ketidakmampuan aparat hukum untuk menindak pelanggaran juga dapat memperburuk situasi dan memicu sengketa.
“Perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi, seperti urbanisasi, pertambahan penduduk, atau perubahan tata guna lahan, dapat menciptakan konflik baru terkait kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam,” tandasnya.
“Alasan lain adalah dapat pula adanya kebijakan Pembangunan yang Kontroversial. Kadang-kadang, kebijakan pembangunan yang kontroversial, seperti proyek-proyek infrastruktur besar, pengembangan perumahan, atau eksploitasi sumber daya alam, dapat menyebabkan konflik dengan pemilik tanah atau masyarakat setempat yang terkena dampaknya,” sambungnya.