Rabu, 12 Februari 2025 17:19

KoranMandala.com – Jendela itu dibiarkan terbuka. Bukan untuk mendapatkan angin segar, tapi agar jendela tak pecah akibat ledakan mendadak. Itulah yang dilakukan teman Jad Barazi di Hamra, di kawasan ramai di Beirut.

Saat bekerja di sebuah kafe, Jad Barazi, –pengusaha berusia 27 tahun– mengatakan bahwa ia sedang mengatasi kecemasan karena mengantisipasi kemungkinan serangan Israel terhadap kota itu.

Barazi, yang merupakan warga negara Prancis-Lebanon, telah tinggal di Lebanon selama lebih dari setahun dan mulai terbiasa hidup di negara yang sering terlibat konflik kecil dengan Israel.

Namun, setelah roket mematikan menghantam Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel minggu lalu, menewaskan 12 anak, ketegangan di Beirut meningkat, dan penduduk bersiap menghadapi serangan besar Israel.

Israel menyalahkan Hizbullah atas serangan tersebut, meskipun kelompok bersenjata Lebanon itu membantah keterlibatannya.
Israel berjanji bahwa Hizbullah akan “membayar mahal.”

Sejak 8 Oktober, ketika Israel dan Hizbullah mulai saling menembakkan rudal di tengah perang di Gaza, Lebanon telah terperangkap di tengah-tengah pertempuran yang diharapkan tidak akan berkembang menjadi konflik besar.

Sekarang, dengan ancaman serangan balasan dari Israel atas kematian di Dataran Tinggi Golan, ketakutan tersebut meningkat.

Barazi mengungkapkan bahwa ia cemas karena membaca berita tentang situasi ini setiap hari. Meskipun ia tidak merasa terlalu takut, ia berharap serangan tersebut segera terjadi agar semua ini bisa segera berakhir.

“Israel mungkin tidak berniat memicu perang besar-besaran dan bisa membatasi serangannya pada target-target Hizbullah” demikian menurut para ahli seperti ditulis Al Jazeera.

Namun, beberapa warga sipil dari Dahiya, kawasan di selatan Beirut yang dianggap sebagai “kubu Hizbullah,” khawatir Israel akan menyerang daerah mereka.

Lina Mounzer, seorang penulis dan komentator Lebanon, mencatat bahwa banyak orang yang memiliki rumah di pegunungan telah memindahkan barang-barang mereka ke sana sebagai persiapan. Namun, ia tidak melakukan persiapan ini karena tidak memiliki tempat seperti itu.

Di Hamra, di kafe lain, Ramy Taweel, seorang penulis dan penerjemah asal Suriah, mengatakan bahwa ia terbiasa hidup di bawah ancaman perang dan merasa pasrah dengan apa pun yang terjadi.

Taweel mengungkapkan bahwa ia merasa gelisah melihat Israel yang mengaku peduli dengan 12 anak Druze yang tewas di Golan sementara terus membunuh ribuan anak Palestina di Gaza.

Menurut Taweel, rakyat telah hidup dalam peperangan selama bertahun-tahun dan siap menghadapi apa pun yang terjadi.- ***




Sumber: Al Jazeera

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Penulis
Exit mobile version