KoranMandala.com – Kasus penembakan terhadap Wakil Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Rahimandani, kini mendapatkan perhatian internasional. Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa, menyampaikan insiden ini dalam Roundtable of International Journalist Organizations yang berlangsung di Chongqing, Republik Rakyat Tiongkok, pada 30 Agustus lalu.
Acara tersebut merupakan bagian dari Belt and Road Journalist Forum (BRJF) 2024, yang diinisiasi oleh All China Journalist Association (ACJA).
BRJF adalah ajang utama Belt and Road Journalist Network (BRJN), yang melibatkan 30 organisasi wartawan dari seluruh dunia, termasuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diwakili oleh Teguh Santosa saat masih menjabat sebagai Ketua Bidang Luar Negeri PWI.
Baca Juga: Ratusan Wartawan Gelar Aksi Tolak Rancangan UU Penyiaran, Ini Bisa Mengancam Iklim Demokrasi Indonesia
Ketika berbicara di hadapan seluruh peserta Roundtable of International Journalist Organizations, Teguh Santosa mengatakan, kekerasan masih kerap dialami masyarakat pers, baik wartawan yang bekerja di lapangan maupun pemilik perusahaan pers.
Mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalist (CAJ) itu mencontohkan upaya pembunuhan Rahimandani pada bulan Agustus 2023. Sudah lebih dari setahun, kasus ini belum terungkap. Pihak keamanan belum juga berhasil mengungkap pelaku dan motifnya.
Rahimandani ditembak pada hari Jumat, 3 Februari 2023, dalam perjalanan dari kediamannya di Bengkulu menuju masjid untuk menjalankan ibadah shalat Jumat.
Hanya beberapa puluh meter dari rumahnya dia berpapasan dengan dua orang yang berboncengan sepeda motor. Keduanya mengenakan jaket berwarna gelap dan helm yang menutupi wajah.
Setelah berpapasan, kedua orang itu memutat motor dan membuntuti Rahimandani dari belakang. Salah seorang di antaranya melepaskan tembakan dari jarak yang sangat dekat lalu melarikan diri.
Beruntung, peluru meleset, dan menembus sisi kiri badan dan lengan kiri Rahimandani.
Rahimandani yang berlumuran darah kemudian kembali ke rumahnya dan dilarikan ke rumah sakit.
Awalnya, pihak Kepolisian Daerah Bengkulu terlihat bersemangat menuntaskan kasus ini. Tetapi setelah berlangsung beberapa bulan kasus ini membeku. Sampai kini.
Teguh juga mengatakan, pihaknya kecewa dengan sikap Dewan Pers yang tidak memberikan perhatian serius untuk mendorong penuntasan kasus ini.
Bahkan sempat ada anggota Dewan Pers yang mengatakan kasus yang menimpa Rahimandani bukan kasus kekerasan terhadap pers karena yang menjadi korban bukan wartawan yang bekerja di lapangan.
Belakangan, Dewan Pers berjanji memperluas defini kekerasan terhadap masyarakat pers meliputi kekerasan terhadap wartawan dan pemilik perusahaan pers.
“Tapi sampai sekarang tidak ada ketegasan Dewan Pers terhadap kasus ini. Sementara pihak Kepolisian masih menggantungnya,” ujar Teguh prihatin.
Teguh mengajak masyarakat pers internasional memberikan dukungan pada pengungkapan kasus ini.
Teguh mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan menggalang awarness campaign untuk membawa kasus ini ke level internasional.
“Kita tidak boleh membiarkan kasus-kasus seperti ini berlalu begitu saja. Khususnya bagi sahabat kami, dia hidup dengan perasaan terteror setiap hari karena pihak yang hendak membunuhnya belum diketahui dan masih berkeliaran,” demikian Teguh.