KoranMandala.com – Aktivis senior angkatan 77, Syafril Sjofyan, mengungkapkan keprihatinannya atas semakin maraknya praktik korupsi di kalangan elit politik pasca dilemahkannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Syafril menilai bahwa pelemahan KPK ini dilakukan secara sistematis melalui perubahan undang-undang (UU) yang berdampak pada efektivitas lembaga tersebut dalam pemberantasan korupsi.
Syafril menegaskan bahwa KPK, yang dibentuk sebagai amanah Reformasi, dulunya dikenal sebagai lembaga yang sangat independen dan dipercaya oleh rakyat dalam memberantas korupsi. “Sebelumnya, KPK merajalela, garang, dan ditakuti oleh para penyelenggara negara karena efektif memberantas korupsi,” ungkapnya.
Namun, pada era pemerintahan Jokowi, KPK mulai dirusak melalui perubahan UU KPK yang, menurut Syafril, diputuskan secara tergesa-gesa dengan kolaborasi antara elit parlemen dan pihak istana. “Koruptor tepuk tangan,” tegas Syafril.
Baca Juga: Aktivis Senior dan Jenderal TNI Purnawirawan Serukan Pengadilan untuk Jokowi Sekeluarga
Syafril juga mengingatkan tentang gelombang protes dari rakyat yang menolak perubahan UU tersebut, yang berujung pada kematian tiga aktivis mahasiswa akibat peluru aparat. “Tujuan perubahan ini jelas: membungkam protes dan memuluskan UU KPK versi rezim Jokowi,” ujar Syafril dalam wawancara dengan wartawan di Bandung, Minggu 15 September 2024.
Menurut Syafril, perubahan UU tersebut telah menjinakkan KPK dan menjadikannya tunduk pada presiden. Ia bahkan menyebut KPK sebagai “Komisi Pembelaan Korupsi” di bawah kendali eksekutif. “Status pegawai KPK diubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk pada aturan menteri. Komisioner KPK, walaupun dipilih secara ‘demokratis,’ diharuskan ikut dalam rapat kabinet, setara dengan menteri yang merupakan pembantu presiden,” kata Syafril.
Ketua KPK pilihan Presiden Jokowi, lanjut Syafril, kini sedang menghadapi masalah pidana, membuat KPK menjadi lembaga yang “tertatih-tatih” dan tak berdaya. Ia juga menuding bahwa KPK versi Jokowi dapat digunakan sebagai alat politik untuk menyandera lawan maupun kawan politik agar tetap patuh pada keinginan presiden.
Syafril menyoroti bahwa kondisi negeri semakin parah dengan para koruptor yang berpesta pora dan hidup nyaman selama mereka tetap patuh. “Bahkan, terdakwa korupsi bisa hidup layak di penjara, mendapatkan diskon masa tahanan, dan ketika keluar, mereka masih memiliki kekayaan luar biasa,” keluhnya. Lebih ironis lagi, mereka yang telah menjadi terpidana korupsi masih bisa mencalonkan diri sebagai calon legislatif atau kepala daerah, bahkan menduduki jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di akhir pernyataannya, Syafril menyinggung dugaan korupsi yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi. Ia mengungkapkan bahwa beberapa tahun lalu sudah ada laporan ke KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan putra presiden, Kaesang dan Gibran, terkait praktik “dagang pengaruh” yang dilakukan oleh Jokowi.
“Setelah KPK dilumpuhkan, siapa yang akan mengusut kasus korupsi keluarga istana?” tutup Syafril dengan nada prihatin.