Sudah 833 (baca: delapan ratus tiga puluh tiga) kali ibu Maria Catarinah Sumarsih berdiri di seberang Istana Merdeka nan megah. Bila datang hujan, atau panas terik menyengat, ibu yang rambutnya sudah memutih itu menggunakan payung. Aksi itu dilakukan ibu Sumarsih beserta kelompoknya, setiap hari Kemis. Karena itu aksi itu dinamai aksi Kamisan.
Dengan penuh ketegaran, ibu Sumarsih dan kelompoknya melakukan aksi untuk menuntut agar pelanggaran HAM pada tragedi Semanggi I dan II dituntut dengan tuntas oleh pemerintah.Tragedi Semanggi II,menyusul tragedi Semanggi I, terjadi 24 September 1999. Alat negara ditengarai menembaki para demonstran sehingga menewaskan 12 orang dan melukai tak kurang dari 200 pendemo.
Ibu Sumarsih sendiri adalah ibu dari Irawan, seorang mahasiswa fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, yang tewas ketika hendak membantu temannya, dalam tragedi Semangggi I yang meletus pada tanggal 13 November 1998 dan menelan korban jiwa hingga 5 orang.
Presiden berganti Presiden, pemerintahan pun demikian. Aksi ibu Sumarsih tak digubris. Dicuekin. Karena itu, aksi memperingati tragedi Semanggi I dan II itu sudah berlangsung lebih dari 800 kali. Tragedi meletus karena pemerintahan Orde Baru yang represif dan sudah 32 tahun berkuasa di bawah kendali Presiden Soeharto hendak dialihkan begitu saja kepada Presiden baru B.J.Habibie tatkala ketidakpuasan rakyat sedang memuncak.
Acara lengsernya Suharto sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB di Credentials Room Istana Merdeka, setelah menggenggam kekuasaan selama 32 tahun, ternyata menjadi puncak kemasgulan rakyat. Tujuh kali penetapannya sebagai Presiden oleh MPR ternyata telah membawa kesengsaraan rakyat yang serius. RI dilanda krisis ekonomi, hukum, keamanan, sosial budaya dan politik yang daria. Krisis yang terjadi, diperparah dengan semakin merajalelanya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Oleh karena itulah MPR kemudian mengeluarkan Penetapan No. XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di dalam Pasal 4 Penetapan itu, eksplisit disebut dengan tegas nama Suharto yang dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun fihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto.
Ingat Penembakan Misterius ?
Dengan meninggalnya Suharto pada tanggal 27 Januari 2008, posisi hukum mantan Presiden itu menurut pimpinan MPR, sudah clear. Yang bersangkutan sebagai terdakwa sudah meninggal. Jadi perkaranya sudah gugur. Sehingga muluslah jalan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.Hal ini disampaikan pimpinan MPR yang diketuai Bambang Soesatyo yang tokoh Golkar dan mantan wartawan itu tatkala berkunjung ke rumah keluarga mantan Presiden RI. Dalam kesempatan menerima kunjungan tadi, puteri-puteri Suharto yang dikenal sebagai Mbak Tutut dan Mbak Titiek, mantan isteri Presiden terpilih Prabowo, mengungkit betapa besar jasa Suharto kepada rakyat Indonesia.
Mereka tentu saja tidak akan menyinggung dosa-dosa yang sudah dilakukan oleh ayahnya ketika menjadi Presiden RI. “Tragedi” hukum yang dikenal kemudian sebagai penembakan misterius atau “Petrus”, sebagai contoh, terjadi pada tahun 80-an, ketika Presiden Suharto ingin mengenyahkan para bromocorah atau residivis tanpa melalui Meja Hijau. Akhirnya terjadilah penembakan-penembakan gelap. Korban di dor tanpa diketahui kesalahannya. Mayat yang sudah terikat kaki dan tangannya kemudian dimasukkan ke dalam karung dan di buang ke jurang. Pada tahun 1983 tercatat 532 mayat ditemukan. Setahun kemudian tak kurang dari 107 jenazah dan tahun 1985 74 mayat ditemukan tergeletak di semak-semak, tak diketahui mengapa dia menemui ajal dan apa dosanya.Yang pasti, mati ditembak.
Kendati setidaknya 713 orang telah menghembuskan nafas terakhir secara misterius karena sengaja disembunyikan siapa penembaknya, ternyata para bromocorah tak pernah enyah sebagaimana diinginkan oleh Soeharto. Mungkin Suharto lupa bahwa kejahatan itu, tidak mungkin dibasmi dengan bedil, dengan kekerasan.*