KoranMandala.com -Fenomena polarisasi masyarakat akibat kontestasi politik kembali terjadi menjelang Pilgub Jawa Barat 2024. Berdasarkan rilis beberapa survei terbaru, pasangan Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan unggul dari tiga pasangan lain dalam perebutan kursi Gubernur Jawa Barat. Pasangan Ahmad Syaikhu berada di urutan kedua, namun kompetisi semakin ketat dan penuh gesekan.
Media sosial telah dibanjiri dengan konten-konten kampanye negatif yang saling menyudutkan antara dua pasangan tersebut. Beberapa konten menyudutkan Dedi Mulyadi dengan menggambarkan dirinya sebagai sosok yang “tidak Islami”, sementara di sisi lain, Ahmad Syaikhu dipersepsikan sebagai representasi kelompok Islam fundamental yang kurang toleran.
Mantan Ketua DPRD Jawa Barat, Eka Santosa, menyampaikan kekhawatirannya terkait fenomena ini kepada wartawan di Bandung. “Fenomena seperti ini sebenarnya sudah terjadi di pilkada-pilkada sebelumnya,” ujar Eka pada Jumat 4 Septenber 2024.
Menurut Eka, polarisasi yang terjadi di Pilkada Jawa Barat tak hanya terjadi di ruang digital, namun juga merambah ke kehidupan sehari-hari.”Perbedaan pilihan politik seringkali membuat masyarakat terbelah, dan luka akibat polarisasi tak hilang begitu saja setelah Pilkada usai. Ini membawa ketidaknyamanan dalam interaksi sosial kita sehari-hari,” tambahnya.
Eka menekankan bahwa sudah saatnya polarisasi semacam ini dihentikan. Perdebatan yang menyudutkan seorang calon sebagai “tidak Islami” atau mengasosiasikan yang lain dengan “kelompok fundamental” hanya memperburuk situasi sosial di masyarakat Jawa Barat. “Isu pengkafiran dan perdebatan soal kelompok fundamental sudah harus diakhiri. Kita perlu move on dari penggunaan isu-isu ini demi kepentingan elektoral.”
Lebih lanjut, Eka Santosa menekankan bahwa Pilgub Jawa Barat 2024 tidak hanya tentang dua pasangan calon terdepan, Dedi-Erwan dan Syaikhu-Ilham. Masih ada figur lain yang berpotensi membawa Jawa Barat menuju kepemimpinan yang harmonis, inklusif, dan berbasis nilai-nilai religius yang menyejukkan.
“Masyarakat Jawa Barat harus memilih pemimpin yang memiliki resistensi rendah di masyarakat, yang bisa merangkul semua golongan, bekerja dengan demokratis, dan benar-benar fokus melayani rakyat, bukan membelah masyarakat,” tutup Eka.
Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2024 seharusnya menjadi momentum untuk menghadirkan pemimpin yang mampu menciptakan keseimbangan antara religiusitas dan keterbukaan, serta memperluas partisipasi demokratis di seluruh lapisan masyarakat provinsi ini.