Oleh: Widi Garibaldi
Ancaman yang disampaikan Prabowo kepada para Ketua partai politik agar tidak menugaskan Menteri-menterinya untuk “mencari uang” dari APBN-APBD, sungguh menimbulkan optimisme, menjelang pemerintahan baru yang akan datang. Apakah optimisme itu beralasan ? Tentu, waktu akan membuktikannya.
Mengacu kepada pemerintahan yang lalu, janji akan memberantas korupsi hanyalah omong doang alias omong kosong. “Omdo”, kata orang. Pada setiap kampanye, selogan memberantas korupsi selalu didengungkan. Kenyataannya, korupsi tetap saja merajalela. Kita, stagnan pada urutan ke 34, negara yang paling korup, pada skala 1:100 dibanding negara lain. Jauh di bawah Malaysia. Apalagi Singapura.
“Mencari uang” dari APBN-APBD itu adalah bentuk korupsi langsung. Menggeroti keuangan negara yang dihimpun susah payah dari pajak rakyat. Semula, rencananya, diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan segala macam cara, sang Koruptor akan mengakali dana-dana itu,misalnya melalui tender pengadaan barang dan jasa Pemerintah yang sudah direkayasa.Pokoknya, merugikan keuangan negara.
Menurut Amin Sunaryadi yang mantan Wakil Ketua KPK 2003-2007 dan Komisaris Utama PLN, 2019-2023, suap menyuap yang sering terjadi dalam proses perizinan, pengadaan barang/jasa pemerintah dan sebagainya, selama ini diabaikan pengusutannya karena penegak hukum fokus hanya kepada perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara semata. Sejauh mana APBN-APBD itu telah digerogoti Tikus tikus koruptor. Padahal, suap menyuap itu acap kali terjadi, walaupun tidak langsung merugikan keuangan negara karena yang digunakan untuk suap menyuap itu menggunakan dana di luar APBN-APBN.
Ke-depan, begitu kata Amin, pemerintahan Prabowo harus memberantas korupsi dengan cara mengikuti kemana dana korupsi itu mengalir.Jadi, dengan follow the money, korupsi akan terbongkar yang ujung-ujungnya tentu juga merugikan keuangan negara. Ia meyakini, korupsi dapat dibersihkan dari negeri ini manakala para Penegak hukum berangkat dari forensic investigation.
Jejak Sumitro
Menilik bahwa Prabowo yang sebentar lagi akan menjadi Presiden RI ke-8 adalah anak Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001), optimisme bahwa dalam pemerintahannya korupsi akan merupakan perbuatan tabu, bukan tidak beralasan.Sumitro yang dikenal sebagai Begawan Ekonom Indonesia, ketika Orde Baru pernah mengingatkan pemerintah akan berjangkitnya “penyakit institusional”, yakni maraknya KKN sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan lemahnya sistem yudisial di negara ini.
Demikian parahnya korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi, menjadikan Sumitro tiba pada perkiraan bahwa setidaknya 30 % dari APBN telah ditilep dan masuk ke saku para koruptor.Pada waktu itu, korupsi merajalela. Kalau pada Orde Lama, orang berseloroh mengatakan bahwa korupsi itu masih dilakukan di bawah meja, pada masa Orde Baru, korupsi dilakukan terang-terangan. Korupsi dilakukan di atas meja. Sumitro sebagai seorang Ekonom tulen, mengingatkan bahwa apabila dibiarkan, korupsi yang merajalela itu, akan membuat negara ambruk.
Sebagai penerus Sumitro yang dikenal bersih, Prabowo pasti dapat berbuat banyak. Kalau dulu ayahnya yang hanya menjadi Menteri, tentu tak dapat bertindak lebih jauh, selain hanya mengingatkan dan menegur. Tetapi sekarang,penerusnya, Prabowo terpilih menjadi Presiden RI yang ke-8. Dengan kedudukannya sebagai Presiden, ia menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ia otomatis menjadi Panglima Tertinggi. Termasuk di bidang pemberantasan korupsi.Kalau mau, ia leluasa dapat memberi perintah kepada Jaksa Agung dan Kepala Polri sebagai bawahannya, agar mengerahkan anak buahnya memberantas korupsi, membersihkan negeri ini dari benalu-benalu yang menghambat terwujudnya cita-cita bangsa.
Sebagai trigger, ia harus pula segera mengembalikan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), keluar dari kekuasaan eksekutif. KPK sebagai Lembaga khusus pemberantasan korupsi harus mandiri, berdiri tegak penuh wibawa di luar kekuasaan manapun. Termasuk Presiden. Itu berarti, ia sebagai Kepala pemerintahan bekerja sama dengan Wakil=wakil Rakyat di Senayan harus segera mengembalikan marwah KPK dengan merevisi UU No. 19 tahun 2019 sebagai perubahan ke-2 dari UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK.
Sebagai Presiden, sebagai Panglima Tertinggi, sudah saatnya ia memalu genderang perang melawan korupsi. Rakyat menanti !