KoranMandala.com -Tokoh Aktivis Pergerakan 77-78, Sjafril Sjofyan, mengkritik keras pencitraan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir masa jabatannya.
Menurutnya, banjir spanduk, baliho, dan papan reklame yang mengucapkan “Terima Kasih Pak Jokowi” di berbagai kota justru menunjukkan pencitraan yang berlebihan.
“Jika diperhatikan, tidak ada nama atau kelompok yang jelas sebagai pengirim pesan tersebut, hanya tertulis ‘Alap-alap Jokowi’. Ini perilaku yang bisa dianggap sebagai gila pencitraan,” ujar Sjafril pada Jumat 18 Oktober 2024.
Aktivis Senior dan Jenderal TNI Purnawirawan Serukan Pengadilan untuk Jokowi Sekeluarga
Menurut Sjafril, “gila pencitraan” merujuk pada tindakan yang sangat terobsesi untuk membangun atau mempertahankan citra di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan harapan mendapatkan pengakuan sosial, meski terkadang dengan cara yang tidak jujur.
Sjafril menilai, pencitraan semacam ini lebih banyak merugikan Jokowi daripada membantunya di akhir masa jabatan.
“Selama setahun terakhir, jangankan masyarakat umum, para pendukung Jokowi pun sudah mulai kecewa, terutama setelah upaya membangun dinasti politik yang dilakukan dengan segala cara,” ujarnya.
Sjafril juga mengungkapkan bahwa beberapa cendekiawan yang dahulu mendukung Jokowi, seperti Prof. Ikrarnegara dan Gunawan Muhammad, telah menyatakan kekecewaannya secara terbuka. Bahkan, mereka terlihat meneteskan air mata di siaran televisi mainstream karena kecewa dengan perilaku politik Jokowi.
Lebih lanjut, Sjafril menyoroti kabar yang beredar mengenai pengeluaran dana hingga Rp15 miliar oleh pihak Jokowi untuk menyebarkan ucapan terima kasih atas namanya sendiri. “Ini hanya semakin merusak reputasinya,” tegasnya.
Menurut Sjafril, obsesi Jokowi untuk menjaga citra di mata publik dapat mengganggu kesehatan mental, seperti menyebabkan stres, kecemasan, hingga depresi. Ia juga menilai Jokowi terlalu fokus pada bagaimana masyarakat memandang dirinya, sehingga kehilangan identitas sejatinya sebagai pemimpin.
Selain itu, upaya Jokowi untuk menempatkan anak-anaknya di kursi kekuasaan dinilai Sjafril sebagai bagian dari beban berat yang mengharuskan Jokowi terus menjaga citra dengan berbagai cara. “Keinginan untuk terus berkuasa ini menjadi tekanan yang sangat besar,” ujarnya.
Sjafril menutup kritiknya dengan pepatah Jawa, “Ben akhire ora kecewa, dewe kudu ngerti kapan wektune berharap lan kapan wektune kudu mandeg,” yang berarti kita harus tahu kapan waktunya berharap dan kapan waktunya berhenti, agar tidak berakhir dalam kekecewaan.
Pada hari yang sama, aksi mahasiswa di berbagai kota dilaporkan serentak mengusung tema “Tangkap dan Adili Jokowi”, menunjukkan bahwa kekecewaan terhadap Jokowi semakin meluas.
“Becik ketitik, olo ketoro. Kebaikan akan terlihat, keburukan akan ketahuan,” tutup Sjafril.