KoranMandala.com -Forum Tanah Air (FTA), sebuah komunitas diaspora yang tersebar di 22 negara bersama sejumlah aktivis sosial, menyampaikan penolakan tegas terhadap proyek reklamasi dan pembangunan kawasan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2) sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Penolakan ini didasarkan pada sejumlah masalah yang dianggap merugikan masyarakat sekitar dan menciptakan ketimpangan sosial.
Ketua Umum FTA, Tata Kesantra, dan Ketua Harian FTA, Donny Handricahyono, menyebutkan bahwa sejumlah warga lokal di sekitar kawasan pengembangan PIK2 mengaku dipaksa menjual tanah mereka dengan harga ganti rugi yang rendah atau bahkan tanpa kompensasi yang memadai. Konflik terkait pembebasan lahan ini kerap menjadi sumber ketegangan antara pengembang dan masyarakat setempat. Bahkan, beberapa warga terpaksa pindah karena tanah mereka diambil alih demi pembangunan.
FTA juga menyoroti protes yang kerap terjadi akibat penggusuran paksa yang dinilai tidak manusiawi. “Proses pembebasan lahan hingga penggusuran ini sangat jauh dari keadilan sosial,” tegas Tata. Selain itu, pembangunan kawasan mewah seperti PIK2 dinilai memperlebar kesenjangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin di Jakarta.
Forum Pengusaha Muda Kota Bandung Dukung Haru Suandharu, Minta 3 Syarat Dipenuhi
Dalam rilis resminya, FTA juga menyoroti kelemahan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek tersebut. Menurut mereka, AMDAL tidak dilakukan secara transparan dan komprehensif sehingga tidak memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan maupun masyarakat sekitar. “Proyek sebesar ini juga tidak melibatkan masyarakat secara memadai dalam proses perencanaannya,” tambah Donny.
Pernyataan Sikap Forum Tanah Air
Melalui kajian dan dialog bersama para aktivis, FTA menyampaikan lima poin tuntutan utama terkait proyek PIK2:
1. Menolak proyek PIK2 yang dianggap hanya mengejar keuntungan swasta untuk dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN).
2. Mendesak Menteri Koordinator Perekonomian mencabut Peraturan Menko tentang PSN terkait proyek PIK2.
3. Mengimbau masyarakat terdampak untuk tetap bertahan membela hak-hak mereka.
4. Meminta perangkat pemerintah daerah, kecamatan, kabupaten, hingga aparat kepolisian dan tentara tidak berpihak pada kepentingan konglomerat.
5. Menyerukan kepada aparat kepolisian untuk tidak melakukan intimidasi atau kriminalisasi terhadap aktivis LSM, nelayan, masyarakat terdampak, termasuk tokoh nasional M. Said Didu yang mendukung perjuangan masyarakat.
FTA menegaskan bahwa pembangunan seperti PIK2 seharusnya tidak mengorbankan hak-hak rakyat kecil dan harus mempertimbangkan keadilan sosial serta kelestarian lingkungan. “Kami menyerukan keadilan dan transparansi dalam pengambilan keputusan proyek ini,” tutup Tata.
Protes ini menjadi salah satu bentuk perlawanan masyarakat terhadap ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang muncul dari pembangunan besar-besaran di ibu kota. Apakah tuntutan FTA ini akan diakomodasi oleh pemerintah, masih perlu ditunggu langkah selanjutnya.