KoranMandala.com -Kerajaan Sunda merupakan salah satu kerajaan terhebat dalam sejarah Nusantara. Dengan usia hampir 10 abad, keberadaannya menjadi bukti nyata kekuatan budaya dan peradaban masyarakat Sunda. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Mumuh Muhsin Z., pakar sejarah sekaligus Dekan II Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB Unpad), dalam wawancara di ruang kerjanya.
“Tidak ada satu pun kerajaan di Nusantara yang mampu bertahan hingga 10 abad. Kerajaan Sunda Pajajaran bahkan menjadi kerajaan Hindu terakhir di tanah Jawa yang bertahan di tengah dominasi kerajaan-kerajaan Islam,” ujar Mumuh Ruang Dekan II FIB Unpad Jatinangor, Jumat 3 Desember 2025.
Meski Majapahit dengan tokoh legendaris Gajah Mada dikenal sebagai penguasa Nusantara, Pajajaran menjadi satu-satunya kerajaan yang tak pernah ditaklukkan. Bahkan, upaya tipu muslihat hingga pengkhianatan dari dalam tidak mampu menjatuhkan Pajajaran dengan mudah. “Runtuhnya Pajajaran baru terjadi setelah dikeroyok oleh tiga kekuatan besar sekaligus: Kerajaan Banten, Cirebon, dan Mataram,” tambahnya.
Namun, apa yang membuat Kerajaan Sunda mampu bertahan selama itu? Menurut Dr. Mumuh, kekuatan utama kerajaan ini terletak pada jati diri masyarakat dan filosofi hidup yang mendasarinya. Jejak filosofi tersebut tercermin dalam paribasa (peribahasa) Sunda, yang hingga kini masih relevan sebagai panduan kehidupan.
Filosofi Sunda yang Abadi
Filosofi Sunda seperti leuleus jeujeur, liat tali (fleksibel namun kuat) dan sineger tengah (bersikap moderat) menjadi nilai yang melekat dalam perilaku masyarakat Sunda. Dr. Mumuh menegaskan bahwa nilai-nilai ini perlu ditafsirkan ulang agar tetap relevan di era modern.
Namun, fleksibilitas dan keramahan orang Sunda sering kali dianggap sebagai kelemahan. Ungkapan someah hade ka semah (ramah kepada tamu) yang menjadi ciri khas masyarakat Sunda, jika tidak diimbangi dengan ketegasan, berpotensi menyebabkan jati kasilih ku junti (tuan rumah tersisihkan oleh pendatang). Fenomena ini terlihat dari semakin dominannya pihak luar dalam berbagai aspek kehidupan di wilayah Sunda, termasuk ekonomi dan budaya.
“Jati diri masyarakat Sunda harus digali kembali melalui penelitian ahli bahasa, sastra, dan filologi. Metode ini dapat melacak nilai-nilai luhur yang menjadi landasan kokohnya Kerajaan Sunda,” jelas Mumuh.
Relevansi Nilai Sunda dalam Kehidupan Bangsa
Dr. Mumuh juga menyoroti karakter masyarakat Sunda yang teu teugeug (tidak keras kepala) dan teu ambisius (tidak ambisius). Karakter ini, meski menjadi nilai positif, terkadang menjadi penghambat dalam dinamika politik nasional. Contohnya, tokoh pejuang Sunda seperti Otto Iskandardinata yang lebih memilih memberi jalan kepada Ir. Soekarno untuk menjadi presiden pertama Indonesia, menunjukkan bagaimana filosofi someah hade ka semah diaplikasikan bahkan dalam panggung politik.
Namun, karakter ini juga menjadi tantangan. “Untuk membangun Jawa Barat yang kuat, kita harus tetap berlandaskan nilai-nilai kesundaan, tetapi dengan interpretasi yang relevan dengan tantangan zaman,” tegas Mumuh.
Membangun Jawa Barat Berlandaskan Jati Diri Sunda
Kerajaan Sunda yang bertahan selama 10 abad menjadi teladan bagaimana jati diri masyarakat mampu menjadi landasan kokoh peradaban. Kini, masyarakat Sunda perlu mengadaptasi nilai-nilai luhur tersebut ke dalam konteks modern.
“Jawa Barat harus dibangun dengan menanamkan kembali filosofi Sunda ke dalam perilaku pemimpin dan masyarakatnya. Namun, sikap someah harus diimbangi dengan ketegasan agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain,” tutup Mumuh.
Masa kejayaan Kerajaan Sunda adalah bukti nyata bahwa kearifan lokal mampu menciptakan peradaban yang hebat.
Masih kata DR. Mumuh, sejarah di berbagai belahan dunia menunjukan bila negara yang membangun denga berlandasakan jati diri bangsanya terbukti berhasil jadi negara kuat. Dia mencontohkan, Jepang, Korea Selatan dan China.
Kini, tugas kita adalah memastikan jati diri tersebut tetap menjadi dasar pembangunan Jawa Barat dan Indonesia yang lebih maju.