Koran Mandala -Gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), menjadi sorotan publik. Aksi-aksinya di media sosial menuai pujian, tapi tak sedikit pula yang menilai sebagai bagian dari strategi pencitraan.
Pegiat media sosial, Eko Kunthadi, mengaku melihat video-video KDM lebih sebagai hiburan ketimbang bentuk kepemimpinan yang substansial. Ia bahkan membandingkan gaya KDM dengan selebritas YouTube, Baim Wong.
“Agak mirip-mirip Baim Wong, ada nangis-nangisnya,” ujar Eko dalam acara Catatan Demokrasi di TVOne, Selasa 8 April 2025.
Dedi Mulyadi: Potong Dana Sopir Angkot Itu Tindakan Premanisme Nyata
Namun, Eko menekankan bahwa sebagai Gubernur, peran KDM seharusnya tidak sama dengan konten kreator.
Ia menyoroti penanganan kasus bangunan liar di kawasan Puncak, yang oleh KDM disebut sebagai penyebab banjir.
“Kalau mau menyelesaikan masalah banjir, ya bongkar semua bangunan yang melanggar. Bukan cuma satu-dua. Kalau cuma sebagian, itu pencitraan,” tegasnya.
Eko juga mengkritisi kebijakan penghapusan denda pajak kendaraan bermotor yang dinilai tidak berpihak pada warga yang taat bayar pajak.
“Ada insentif untuk penunggak pajak. Lalu insentif apa bagi mereka yang taat setiap tahun? Harusnya itu yang dihargai,” katanya.
Menurut Eko, pendekatan semacam itu bisa berdampak negatif jangka panjang karena menciptakan preseden buruk dalam kebijakan publik.
“Potensi kehilangan pendapatan daerah bisa mencapai Rp30 triliun. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk membangun sekolah bagi anak-anak miskin di Jawa Barat,” ujarnya.
Sementara itu, akademisi sekaligus pegiat media sosial, Ade Armando, punya pandangan berbeda.
Menurutnya, apakah gaya KDM adalah pencitraan atau bukan baru bisa dilihat dari konsistensinya ke depan.
“Kita belum tahu sekarang. Itu tergantung apakah kebijakan-kebijakan ini berlanjut atau tidak,” ucap Ade.
Ade menilai KDM sebagai sosok politisi matang yang memahami birokrasi, dengan modal politik yang kuat karena didukung 66 persen pemilih saat Pilkada.
“Artinya, masyarakat percaya pada Kang Dedi,” ujar Ade.
Ia mencontohkan kebijakan pelarangan study tour siswa sekolah. Menurutnya, itu bukan kebijakan dadakan karena dasar hukumnya sudah ada sebelum KDM menjabat.
Ade menilai Indonesia membutuhkan pemimpin seperti KDM yang berani menegakkan aturan tanpa basa-basi.
“Salah satu masalah kita adalah masyarakat yang malas menaati aturan. Banyak bangunan berdiri di tanah tak sah, termasuk di kawasan wisata,” kata Ade.
Ia menilai ketegasan KDM diperlukan di tengah budaya permisif terhadap pelanggaran aturan.
“Kang Dedi itu tanpa basa-basi. Apakah itu pencitraan atau bukan, itu soal lain,” ujarnya.