Koran Mandala -Kasus dugaan pemerkosaan oleh dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) terhadap tiga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menuai kecaman dari berbagai pihak. Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya, bersama tim Jabar Bantuan Hukum, memberikan perhatian serius terhadap penanganan kasus ini.
Kuasa hukum korban dari Jabar Bantuan Hukum, Debi Agus Priansah, menegaskan bahwa perbuatan pelaku, seorang dokter residen anestesi bernama Priguna Anugerah (31), sangat tidak manusiawi dan telah melukai korban secara fisik maupun psikis.
“Seorang dokter seharusnya memberi rasa aman dan kesehatan kepada pasien, bukan justru menjadi pelaku kejahatan. Tindak kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan tak boleh diberi ruang sedikit pun,” ujar Debi, Minggu 13 Agustus 2025.
Atalia Praratya Ajak Semua Pihak Terlibat Tangani Kasus Pemerkosaan
Debi juga menyampaikan rasa duka mendalam atas wafatnya ayah salah satu korban. Sang ayah sempat berharap mendapat donor darah untuk kesembuhannya, namun keluarganya justru mendapat pengalaman tragis akibat ulah pelaku.
Ia pun menanggapi klaim kuasa hukum pelaku yang menyodorkan surat perdamaian kepada media. Menurutnya, hal itu tidak memiliki kekuatan hukum dan justru berpotensi melanggar hak privasi korban.
“Dalam Pasal 23 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022, jelas disebutkan bahwa tidak ada penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk kasus kekerasan seksual. Surat perdamaian tidak menghapus tanggung jawab hukum pelaku,” tegasnya.
Fenomena Gunung Es
Menanggapi kasus ini, Atalia Praratya menyebut kejahatan serupa masih banyak yang belum terungkap. Berdasarkan data Komnas Perempuan 2022, sekitar 60 persen korban kekerasan seksual memilih diam dan tidak melapor.
“Kasus ini hanyalah sebagian dari fenomena gunung es. Banyak korban memilih bungkam karena takut atau malu, padahal pelakunya justru datang dari lingkungan yang seharusnya melindungi, seperti tenaga medis, pendidik, bahkan aparat,” kata Atalia.
Ia mencontohkan beberapa kasus lain yang sempat mencuat, seperti guru besar UGM yang diberhentikan karena melecehkan mahasiswi, kasus di pesantren Jombang, hingga oknum polisi di Ngada.
Atalia menyebut pihaknya telah berkoordinasi dengan UPT DPPA Kota Bandung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta RSHS untuk memastikan korban mendapat pendampingan psikologis dan hukum yang memadai.
“Tugas kami adalah memastikan perlindungan maksimal terhadap korban, sekaligus mendorong perbaikan sistem di lembaga pendidikan, rumah sakit, dan institusi lainnya agar kasus seperti ini tidak terulang,” ujarnya.