Koran Mandala -Suasana di Jalan Aceh, Kota Bandung, Minggu sore 13 April 2025 itu terasa hangat sekaligus penuh energi. Sejumlah aktivis 98 dari berbagai daerah, terutama Jawa Barat dan Kota Bandung, berkumpul dalam sebuah acara halal bihalal yang jauh dari kesan seremonial. Pertemuan ini menjadi ruang silaturahmi, sekaligus ajang menumpahkan keresahan terhadap arah perjalanan bangsa yang dinilai tengah dalam turbulensi serius.
Di tengah obrolan hangat dan tawa kecil mengenang masa perjuangan di akhir 90-an, para aktivis membicarakan hal-hal yang lebih dalam: soal kondisi demokrasi yang dinilai mengalami kemunduran, serta krisis ekonomi yang makin terasa di akar rumput.
Muhamad Suryawijaya, salah satu aktivis 98 Bandung, menjadi sosok yang menyuarakan keresahan itu dengan analogi tajam. “Situasi saat ini ibarat pesawat yang sedang mengalami turbulensi hebat. Prabowo sebagai Presiden adalah pilotnya. Tapi jika co-pilot, pramugara, dan pramugarinya tak mampu menangani situasi, maka pesawat ini akan jatuh bersama seluruh penumpangnya,” ujar Surya.
Eks Aktivis Reformasi Terjerat Kasus Korupsi Rp193 Triliun di PT Pertamina: Pengkhianatan Idealisme?
Ia melanjutkan, kritik dari masyarakat, termasuk dari mahasiswa yang kini mulai aktif turun ke jalan, seharusnya dilihat sebagai bentuk cinta pada republik ini. “Demokrasi itu butuh vitamin, dan vitamin itu adalah kritik. Pemerintah harus terbuka dan menampung aspirasi dari bawah,” tegasnya.
Pertemuan yang dihadiri pula oleh aktivis 98 dari berbagai provinsi itu seolah menjadi alarm bagi bangsa yang dinilai semakin terjebak dalam budaya kekuasaan yang korosif. Boy Bawono, aktivis 98 lainnya, secara blak-blakan menyebut korupsi sudah menjelma menjadi budaya baru yang membahayakan fondasi bangsa.
“Budaya kita seharusnya gotong royong, tapi yang terjadi justru gotong royong dalam korupsi. Ini sudah menjadi kebiasaan yang harus segera dilawan,” ucap Boy, dengan nada serius.
Tak kalah lantang, Muhamad Dawam menyampaikan perlunya keberanian untuk mengevaluasi pemerintahan Prabowo di 200 hari masa kerjanya. Ia menilai, banyak jabatan strategis diisi tanpa konsep yang jelas, padahal tantangan bangsa ke depan membutuhkan pemimpin yang visioner dan teruji.
“Kalau ingin menciptakan kesejahteraan, maka setiap orang yang dipilih Presiden harus punya konsep yang konkret. Jangan asal comot,” ujar Dawam, yang didampingi aktivis 98 lainnya, Rona Fortuna.
Di akhir pertemuan, para aktivis bersepakat untuk terus menjaga api perjuangan tetap menyala. Bagi mereka, reformasi 98 bukan hanya sejarah, tapi semangat yang harus terus dihidupkan—dengan kritik yang tajam, solidaritas yang kuat, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan dalam wajah apa pun.