Koran Mandala -Program Minimum Essential Force (MEF) yang menjadi tonggak pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia sejatinya dirancang sebagai jawaban atas kebutuhan realistis militer dalam menjaga kedaulatan negara. Namun, menjelang akhir 2024, ketika masa jabatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan usai, capaian MEF hanya mencapai lebih dari 80 persen.
Bahkan setelah Prabowo menjabat sebagai Presiden pun pertanyaan mendasar tetap muncul. Apakah capaian tersebut bisa benar-benar menjamin kesiapan pertahanan nasional, atau justru sebatas angka administratif di atas kertas?
Masalah Mendasar
Klaim keberhasilan pencapaian MEF lebih dari 80 persen diwarnai oleh serangkaian kontrak pengadaan alutsista besar-besaran seperti jet tempur Rafale, fregat Arrowhead 140, hingga kapal selam Scorpène. Namun, banyak dari alutsista tersebut belum diterima secara penuh dan masih berada dalam tahap pemesanan atau produksi. Artinya, klaim capaian MEF lebih mencerminkan “commitment to buy” daripada “combat readiness”.
Jika MEF dimaknai sebagai kekuatan minimum yang siap tempur dan operasional, maka pengadaan yang belum terealisasi penuh seharusnya tidak dihitung sebagai pencapaian konkret. Hal ini menjadi kritik utama terhadap metode penghitungan MEF yang kerap bias ke arah administratif ketimbang fungsional.
Modernisasi Setengah Jalan
Di tengah gembar-gembor modernisasi, tak sedikit aset TNI yang masih bergantung pada sistem lama dan perawatan darurat. Pesawat tempur F-16 dan Sukhoi yang uzur, tank-tank tua, serta kapal patroli yang tak layak laut masih menjadi tulang punggung di sejumlah wilayah.
Ketimpangan antarmatram juga belum sepenuhnya teratasi. Modernisasi lebih condong pada pembelian platform besar untuk matra udara dan laut, sementara matra darat dan aspek pendukung seperti logistik, pemeliharaan, dan sistem komando-kendali (C4ISR) tertinggal jauh.
Ketergantungan Luar Negeri dan Minimnya TKDN
Alih-alih mendorong kemandirian, kebijakan pengadaan Prabowo justru memperkuat ketergantungan pada produk luar negeri. Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam berbagai kontrak strategis masih rendah, dan industri pertahanan nasional belum menjadi pemain utama, melainkan sekadar mitra pelaksana atau perakit.
Sebagai contoh, pembelian Rafale dari Prancis tidak disertai skema transfer teknologi yang kuat dan belum jelas dampaknya bagi PT DI. Hal serupa juga terjadi dalam kerja sama pembangunan fregat dan kapal selam, yang lebih banyak dikendalikan oleh pihak luar.
Pertahanan Tanpa Rakyat
MEF juga nyaris tidak menyentuh aspek pertahanan rakyat semesta. Program komponen cadangan (Komcad) yang sempat digembar-gemborkan, faktanya belum mampu membangun kesadaran bela negara secara luas. Apalagi, pendekatan yang digunakan lebih bersifat militeristik daripada membangun kapasitas sipil sebagai bagian integral dari sistem pertahanan.
Menuju Evaluasi Strategis
Setelah terbukti MEF tak tercapai pada 2024, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh atas program ini, bukan malah merayakan angka-angka yang absurd.
Evaluasi harus mencakup:
Apakah alutsista yang dibeli sesuai kebutuhan operasional?
Seberapa besar kemampuan interoperabilitas antar matra?
Apakah SDM dan sistem pendukung (maintenance, logistik) siap menjalankan MEF secara optimal?
Apakah rakyat sebagai elemen utama pertahanan turut diperkuat kapasitas dan kesadarannya?
Tanpa jawaban kritis atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, arah kebijakan pertahanan nasional kedepan harus lebih jelas dan MEF yang selama ini dianggap sebagai simbol kekuatan nasional, harus diakui hanya tampilan luar yang rapuh.