KORANMANDALA.COM – Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan soal batasan usia untuk bakal Calon Presiden dan Wakil presiden yang diajukan PSI dan Partai Gelora.
Namun tak lama setelah putusan itu, MK justru mengabulkan gugatan yang dijukan salah seorang mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A.
Almas meminta Mahkamah Konstitusi membolehkan seorang pejabat yang dipilih melalui pemilu ikut mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres, meski belum berusia 40 tahun.
Salah seorang pemuda Kota Bandung Emi La Palau, mengaku cukup miris dengan putusan tersebut. Pasalnya dia menilai kontitusi bisa dipermainkan demi kepentingan sekelompok orang saja.
Baca juga: Gugatannya Ditolak MK, PSI Jabar: Harus Tua Dulu Baru Bisa Jadi Pemimpin
“Menurut saya ini miris, ini seperti penghianatan terhadap konstitusi yang mana konstitusi kita sudah menetapkan batas minimal capres-cawapres itu 40 tahun,” kata Emi kepada Koranmandala Senin 16 Oktober 2023.
Emi, yang bekerja di salah satu radio di Kota Bandung itu, juga menilai usia 40 adalah usia yang matang dan pas untuk menjadi seorang pemimpin.
“Kalau kita lihat, seolah-olah mahkamah Konstitusi bukan lagi untuk melanggengkan atau menyerap aspirasi-aspirasi masyarakat tapi lebih kepada mahkamah keluarga, yang menggolkan berbagai persyaratan misalnya hanya untuk menggolkan, anak presiden, apalagi Gibran kan digadang-gadang mau maju sebagai cawapres namun karena kepentok usianya jadi dilakukan segala cara agar menggolkan itu, tentu ini miris,” ujarnya.
Baca juga: Celah Gibran Rakabuming Jadi Cawapres Belum Sirna, Ternyata MK Kabulkan Gugatan Mahasiswa Unsa
Dengan adanya putusan tersebut, dia menilai, hal tersebut merupakan kemunduran demokrasi saat ini, dan nampak mengarah kepada dinasti politik yang sedang dibangun oleh beberapa kelompok yang ingin menguasai tanah air ini.
“Saya sebagai anak muda miris karena ini seperti kemunduran demokrasi kita, karena di Kontitusi Kita itu 40 tahun itu sudah pas dan sudah dewasa gitu untuk menjadi seorang pemimpin, dalam hal ini capres atau cawapres,” ujarnya.
Sementara itu dilokasi yang berbeda, aktivis buruh, Roy Jinto menilai Putusan MK perkara 90/PUU-XXI/2023, sangat aneh bin ajaib.
Baca juga: Putusan MK Menuai Beragam Protes, Mahfud MD: Sudah Final dan Mengikat
“Menurut saya sangat aneh karena sebelum membacakan putusan no 90, terlebih dahulu MK membacakan putusan perkara Nomor 29, 51 dan 55 PUU-XXI/2023 dengan obyek perkara yang sama yaitu batas minimal usia capres dan cawapres,” kata Roy Jinto.
Roy Jinto yang juga sebagai ketua KSPSI Jawa Barat itu juga menilai, dalam 3 perkara (29, 51 dan 55) ketua MK Anwar Usman tidak ikut dalam rapat Permusyawaratan Hakim dalam mengambil keputusan, yang pada akhirnya perkara tersebut ditolak oleh MK.
“Sedangkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, ketua MK Anwar Usman hadir dalam rapat Permusyawaratan Hakim dalam mengambil keputusan, yang pada akhirnya putusan perkara 90 dikabulkan sebagian,” ucapnya.
Padahal tambah Roy, di 3 perkara yang dibacakan dengan tegas MK menolak permohonan pengujian pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut dengan alasan ketentuan tersebut merupakan kewenangan pembentuk UU untuk merubahnya.
“Malah mengabulkan permohonan pengujian pasal 169 huruf q UU Pemilu, pandangan MK berubah pada saat ketua MK Anwar Usman hadir dalam rapat Permusyawaratan Hakim perkara No. 90” ujarnya.
Biasanya, sepengetahuan Roy, kalau obyeknya sama maka putusannya biasanya akan sama. Hal tersebut sama dengan pembacaan putusan MK mengenai UU CIPTA KERJA tanggal 2 Oktober 2023, begitu perkara nomor 54 ditolak maka perkara nomor 40, 41 dan perkara yang lainya yang obyek perkara pengujiannya sama semua ditolak.
“Berbeda dengan Pengujian pasal mengenai batas minimal usia capres dan cawapres. MK tidak konsisten terhadap putusan-putusan sebelumnya,” ucapnya. (pan/ekp)