Dian juga menambahkan bahwa KPU sebenarnya memiliki peluang untuk membatalkan pendaftaran pasangan capres-cawapres yang tidak sesuai dengan interpretasi putusan MK tersebut selama tahap verifikasi calon. Namun, peluang ini sudah terlewat pada tahapan Pemilu saat ini.
Meskipun memiliki kewenangan tersebut, Dian meragukan apakah KPU berani menggunakan penafsiran putusan tersebut untuk menilai apakah capres-cawapres yang diusulkan oleh partai politik memenuhi kualifikasi dalam putusan MK tersebut.
“KPU lebih cenderung mengikuti pandangan umum bahwa putusan MK memperbolehkan kepala daerah di bawah 40 tahun, selama mereka telah atau sedang menjabat, dapat diusulkan sebagai capres-cawapres,” ujarnya.
Brian Demas Wicaksono, Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, menambahkan bahwa putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres yang diambil di tengah-tengah tahapan Pemilu harus diterima oleh masyarakat meskipun terasa aneh.
“Yang perlu dicermati dari putusan MK itu, mengapa KPU begitu tergesa-gesa melaksanakan keputusan tersebut, sedangkan dua lembaga lainnya, yaitu Presiden dan DPR, justru bersikap santai,” kata Brian.
Brian juga menilai bahwa KPU menerima pendaftaran Gibran pada 25 Oktober 2023 tanpa menunggu perubahan UU No. 7 tahun 2017 dan Peraturan KPU (PKPU) merupakan tindakan yang melanggar hukum dan melebihi batas kewenangannya.
“Jadi, KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum, melewati batas kekuasaan yang dimilikinya,” tegasnya.
Menurut Brian, pelaksanaan Pemilu saat ini ditandai dengan penyimpangan hukum karena KPU belum mengubah aturan dalam PKPU sesuai dengan putusan MK.
“Pelaksanaan proses Pemilu saat ini diwarnai dengan kekacauan hukum karena KPU belum mengadaptasi aturan berdasarkan keputusan pengadilan tersebut,” tambahnya.- ***