KORANMANDALA.COM – Ada tiga pakar hukum tata negara yang membintangi film Dirty Vote. Mereka adalah Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
Mereka memaparkan sejumlah data dan mengurai pelanggaran hukum serta kecurangan Pemilu saat ini. Ketiganya juga menyoroti beberapa poin dalam film berdurasi 1 jam 55 menit 22 detik itu.
Beberapa isu yang disorot dalam film mencakup dugaan kecurangan melalui penunjukkan 20 Penjabat Kepala Daerah, tekanan terhadap kepala desa untuk mendukung kandidat tertentu, dan penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang dianggap berlebihan.
Dalam konteks pemilihan presiden tahun ini, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, tak luput dari sorotan ketiga ahli hukum itu.
Menurut mereka, majunya Gibran sebagai calon wakil presiden menarik perhatian publik karena didahului oleh keputusan kontroversial Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran.
Keputusan tersebut mengabulkan gugatan terkait aturan syarat usia calon wakil presiden 40 tahun, sehingga memungkinkan Gibran yang sebelumnya belum memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden.
Meskipun Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat, yang membuat keputusannya cacat secara etik, pendaftaran Gibran tetap berlanjut.
Bivitri secara gamblang menjelaskan, ada kontradiksi di Mahkamah Konstitusi. Ada perbedaan yang sangat menonjol antara keputusan nomor 90 yang meloloskan Gibran dengan gugatan tentang presidential treshold.
Menurut Bivitri, gugatan tentang ambang batas pencalonan presiden itu diajukan sebanyak 31 kali. Hasilnya nihil. Mahkamah Konstitusi, kata Bivitri, menolak gugatan itu karena hal tersebut merupakan ranah pembuat undang-undang.
Ketika ada pengajuan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang diajukan Almas Tsaqibiru, ujug-ujug Mahkamah Konstitusi langsung mengabulkan.
Padahal, lanjut Bivitri, sebelumnya ada tiga gugatan yang sama dengan yang diajukan Almas, ditolak oleh MK.
Keputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, kata Bivitri, seharusnya juga menjadi open legal policy yang merupakan wewenang lembaga pembuat undang-undang.- ***