KORANMANDALA.COM – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 12 organisasi termasuk Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) kecam langkah Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) yang melaporkan sutradara dan tiga pakar hukum tata negara pengisi film dokumenter Dirty Vote ke Mabes Polri.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, langkah tersebut sebagai upaya membungkam pihak-pihak yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu.
Pelaporan tersebut juga, menghambat hak publik untuk mengakses informasi maupun partisipasi publik melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemilu 2024.
Terkait pelaporan DPP Foksi itu, dalam rilisnya yang dikutip dari laman resmi Aji, Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan beberapa hal seperti berikut.
1.Menolak kriminalisasi terhadap para pengkritik termasuk terhadap para pakar hukum dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film Dirty Vote baik dengan UU Pemilu atau ketentuan pidana lainnya.
2.Meminta pemerintah, aparatur negara, partai politik, para calon presiden dan wakil presiden, para kontestan pemilu, serta para pendukung mereka, tidak alergi terhadap kritik yang disampaikan publik, termasuk fakta-fakta kecurangan pemilu.
3.Mendesak Kepolisian RI, Bawaslu, Kejaksaan RI, dan lembaga lainnya tidak mengikuti kehendak atau narasi para pelapor dan pihak-pihak yang anti kritik untuk memidanakan para tokoh dan pembuat film Dirty Vote. Sehingga sudah semestinya, laporan yang diajukan oleh para pelapor ditolak dan tidak dilanjutkan secara hukum.
4.Mendesak para penyelenggara pemilu dan penegak hukum memproses fakta-fakta kecurangan Pemilu 2024, alih-alih memidanakan pakar dan aktivis di balik film Dirty Vote.
Seperti diketahui, film dokumenter Dirty Vote karya sutradara Dandhy Laksono, diisi oleh tiga ahli hukum tata negara yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.
Belakangan film berdurasi hampir dua jam yang di dalamnya di antaranya berisi informasi yang pernah dimuat sejumlah media tersebut, dianggap fitnah dan kampanye hitam oleh beberapa pihak.
Film itu juga menyebabkan DPP Foksi melaporkan tim yang terlibat dengan Pasal 287 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kepada Mabes Polri.
Tudingan DPP Foksi, film Dirty Vote dianggap melanggar ketentuan di masa tenang Pemilu, sebuah black campaign atau kampanye hitam terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Keliru
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, seluruh tuduhan yang disampaikan oleh DPP Foksi adalah keliru.
Alasannya, pertama, dokumenter Dirty Vote diproduksi secara kolaboratif oleh jurnalis dan organisasi masyarakat sipil.
Masyarakat sipil itu di antaranya AJI, Bangsa Mahardhika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace, ICW, JATAM, Jeda untuk Iklim, KBR, LBH Pers, dan Lokataru.
Selain itu, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, WALHI, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal dan YLBHI. Pembiayaan film ini juga berasal dari sumbangan individu dan organisasi masyarakat sipil.
Kedua, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, “kampanye hitam” yang disokong dengan penggunaan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 dan 287.
Pasal 280 ayat (1) sampai (4) tentang larangan dalam kampanye pemilu sama sekali tidak melarang pengungkapan atau publikasi fakta-fakta pelanggaran pemilu seperti yang diungkap dalam
“Upaya menarasikan Dirty Vote sebagai kampanye hitam merupakan bentuk deligitimasi terhadap kritik dan fakta-fakta yang disajikan pada film tersebut,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil.
Ketiga, dokumenter tersebut tidak dibuat untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu.
Sebaliknya dokumenter ini merupakan kajian kritis berdasarkan fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik.
Seluruh kandidat capres-cawapres yang berkontribusi pada bentuk-bentuk dugaan kecurangan Pemilu 2024 disebut dalam film berdurasi hampir 2 jam tersebut.
Tudingan DPP Foksi, disebutkan, sama seperti pola-pola serangan balik terhadap berbagai kritik sebelumnya terhadap pemerintah.
“Pola itu dengan mendiskreditkan para pengkritik atau pengungkap fakta dengan tuduhan negatif yang tidak berdasar, salah satunya menuduh pengkritik merupakan bagian dari lawan politik atau killing the messenger,” tulis Koalisi Masyarakat Sioil.
Narasi-narasi ini biasanya berlanjut dengan langkah hukum berupa pelaporan ke kepolisian untuk menekan para pengkritik atau setidaknya mengaburkan substansi kritik dalam percakapan publik. (Tim Mandala)***