KoranMandala.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung pertama di Indonesia merupakan tonggak penting dalam sejarah demokrasi di tanah air. Dasar hukum pelaksanaan Pilkada langsung ini dimulai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 yang sebelumnya mengatur tentang pemerintahan daerah, namun masih menggunakan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. UU No. 32 Tahun 2004 ini lahir pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, meskipun pelaksanaan Pilkada langsung baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Latar belakang munculnya UU No. 32 Tahun 2004 adalah dorongan kuat dari masyarakat dan reformasi politik yang berkembang sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Demokratisasi menjadi agenda utama yang diusung oleh berbagai elemen masyarakat. Pilkada langsung dianggap sebagai salah satu bentuk implementasi demokrasi langsung yang lebih akuntabel dan transparan dibandingkan dengan sistem pemilihan melalui DPRD yang sering kali rentan terhadap praktik-praktik korupsi dan politik uang.
Pilkada langsung pertama kali dilaksanakan di Aceh. Saat itu untuk pertama kalinya digelar Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Aceh 2006 (Pilkada NAD 2006). Pilkada diselenggarakan pada tanggal 11 Desember 2006 serentak dengan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/Kota di 19 dari 21 kabupaten/kota se-provinsi Aceh. Pilkada ini merupakan pilkada serentak terbesar di Indonesia.
Baca Juga: Pendaftaran Dibuka, Pj Wali Kota Bandung Berharap Pilkada Serentak 2024 Aman, Kondusif dan Sejuk
Berbeda dengan Pilkada lainnya di Indonesia yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Pilkada di NAD diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Hal lain yang membedakan Pilkada NAD adalah Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah boleh diikuti oleh calon independen.
Data KIP NAD menunjukkan, jumlah pemilih Pilkada NAD tercatat 2.632.935 orang, yang tersebar di 21 kabupaten/kota; yang memilih di 8.471 Tempat Pemungutan Suara.
Dalam konteks sejarah Indonesia, tahun tersebut menjadi momen bersejarah karena untuk pertama kalinya rakyat dapat memilih langsung kepala daerah mereka, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pelaksanaan Pilkada langsung ini dimulai pada bulan Juni 2005 dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi salah satu daerah pertama yang melaksanakannya, disusul oleh berbagai daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Provinsi NAD menjadi sorotan karena situasi politik dan keamanan yang unik. Sebelumnya, NAD mengalami konflik berkepanjangan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, pada 2005, setelah penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki, NAD menjadi salah satu provinsi pertama yang menggelar Pilkada langsung, menandai peralihan dari konflik ke jalur demokrasi. Pilkada NAD pada saat itu juga mencatat sejarah dengan terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai Gubernur pertama hasil Pilkada langsung.
Selain NAD, beberapa daerah lain yang melaksanakan Pilkada pada tahun 2005 antara lain Provinsi Kalimantan Tengah dan sejumlah kabupaten/kota seperti Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, Kabupaten Jembrana di Bali, dan Kota Batu di Jawa Timur. Pilkada di berbagai daerah ini berlangsung dengan antusiasme tinggi dari masyarakat, meskipun juga diwarnai dengan berbagai tantangan seperti konflik antarpendukung calon, masalah teknis dalam penyelenggaraan, serta kasus-kasus pelanggaran pemilu.
Di tingkat nasional, pelaksanaan Pilkada langsung membawa dampak signifikan dalam dinamika politik lokal. Pemilihan langsung ini memberikan peluang bagi tokoh-tokoh lokal yang memiliki basis massa kuat, namun sebelumnya tidak memiliki akses terhadap kekuasaan melalui mekanisme DPRD. Hasil Pilkada langsung juga menunjukkan munculnya para pemimpin daerah yang lebih dekat dengan aspirasi rakyat, meskipun tidak lepas dari kritik terkait politik uang dan dinasti politik yang tetap menjadi masalah di beberapa daerah.
Secara umum, Pilkada 2005 dianggap sebagai tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, meskipun dengan segala tantangan dan kekurangannya. Melalui Pilkada langsung, rakyat diberikan hak yang lebih besar untuk menentukan pemimpin mereka secara langsung. Selain itu, Pilkada langsung juga mendorong terwujudnya pemerintahan daerah yang lebih transparan dan akuntabel.
Keberhasilan pelaksanaan Pilkada langsung pada tahun 2005 membuka jalan bagi pelaksanaan Pilkada serentak pada tahun-tahun berikutnya. Meskipun demikian, perjalanan demokrasi di Indonesia tetap dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk bagaimana memastikan bahwa proses demokrasi ini benar-benar menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan mampu membawa perubahan positif bagi daerah yang dipimpinnya.
Pada akhirnya, sejarah Pilkada pertama di Indonesia menunjukkan bagaimana reformasi politik yang dimulai pada akhir 1990-an terus berkembang dan memperkaya praktik demokrasi di Indonesia. Pilkada langsung menjadi salah satu wujud nyata dari upaya demokratisasi di tingkat lokal, yang hingga kini terus berkembang seiring dengan dinamika politik dan sosial di Indonesia. (Litbang KoranMandala.com)