Ambiguitas UU Pilkada
Kang iW menyoroti ambiguitas dalam pasal 54D Undang-Undang Pilkada yang menyebutkan jika pasangan calon tidak memperoleh 50% suara, pemilihan bisa diulang pada pemilihan berikutnya.
Frasa “pemilihan berikutnya” ini dinilai membingungkan karena bisa ditafsirkan sebagai lima tahun lagi, yang berarti daerah tersebut akan dipimpin oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah selama periode tersebut.
“Opsi ini jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita menunggu lima tahun dengan Pj yang tidak dipilih rakyat? Ini bisa menimbulkan masalah besar dalam tata kelola pemerintahan,” ujar Kang iW. Ia menambahkan bahwa opsi pemilihan ulang dalam waktu yang lebih cepat lebih masuk akal dan sesuai dengan semangat demokrasi.
Terapi “Cuci Darah” KPU
Untuk menyelesaikan masalah ini, Kang iW mengapresiasi langkah KPU yang pada 10 September lalu mengajukan Peraturan KPU (PKPU) ke DPR RI dan pemerintah sebagai solusi “cuci darah” demi menjaga kesehatan institusi tersebut.
Ia berharap PKPU yang diterbitkan nantinya dapat memperbaiki kondisi dan memastikan KPU dapat menjalankan tugasnya tanpa kendala besar.
“Dalam situasi ini, KPU butuh terapi darurat. Kita semua berharap dengan adanya PKPU ini, KPU bisa kembali sehat dan demokrasi kita tetap terjaga,” pungkasnya.
Demokrasi Indonesia, menurut Kang iW, memerlukan perhatian khusus untuk menghadapi berbagai tantangan ini. KPU harus memastikan langkah-langkah yang diambil tidak hanya menjaga legitimasi pemilu, tetapi juga memastikan proses politik tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan transparan.