Lionel Messi bergabung dengan tim juru kunci MLS, Inter Miami. Sejeblok apa pun performa tim di MLS, mereka tidak akan tersingkir.
KORANMANDALA.COM – Lionel Messi resmi bergabung dengan kesebelasan juru kunci Major League Soccer (MLS) musim ini, Inter Miami. Namun keputusannya bergabung dengan Inter Miami mengundang tanda tanya.
Bagaimana tidak, Messi punya nama besar sebagai pemain terhebat di muka bumi, tetapi justru bergabung dengan Inter Miami yang berstatus tim juru kunci klasemen sementara Konferensi Timur MLS musim ini.
Tercatat, Inter Miami baru mengoleksi 15 poin setelah tampil sebanyak 16 pertandingan MLS musim ini. Kesebelasan juru kunci yang bakal dibela Messi tersebut baru meraih lima kemenangan dan 11 kekalahan.
Para penggemar Messi atau pun pecinta sepak bola agaknya tidak perlu khawatir atas keputusan sang pemain bergabung dengan Inter Miami. Toh, sejeblok apa pun performa tim, mereka tidak akan terdegradasi dari MLS.
Sejak berdiri pada 1993 dan mulai berjalan reguler pada 1996, MLS merupakan kompetisi sepak bola tunggal di Amerika Serikat (AS). MLS tidak memiliki kompetisi satu atau dua level di bawahnya, seperti kebanyakan kompetisi di Benua Eropa.
Hal tersebut lantaran minimnya partisipan yang hanya berjumlah sepuluh tim pada awal MLS bergulir.
Sepuluh tim yang meramaikan MLS pertama kali, di antaranya Tampa Bay Mutiny, Dallas Burn, Colorado Rapids, New England Revolution, D.C. United, Columbus Crew, Kansas City Wiz, NY/NJ MetroStars, Los Angeles Galaxy, dan San Jose Clash.
MLS digagas sebagai syarat AS mendapatkan status tuan rumah Piala Dunia 1994. Seperti yang kita tahu, sepak bola bukanlah olahraga populer di AS, sehingga perlu ada dorongan agar masyarakat Negeri Paman Sam mulai melirik permainan si kulit bundar.
Keputusan Federasi sepak bola Internasional (FIFA) menerima tawaran AS menjadi tuan rumah kompetisi sedunia sempat dipandang mengada-ngada. Dalam penelitian John D. Francis bertajuk Learning Vicariously From Failure: The Case of Major League Soccer and and the Collapse of the North American Soccer League (2010) menuliskan, sepak bola AS masih berumur jagung dan tidaklah layak menggelar turnamen sepak bola dunia.
Hingga 26 tahun berjalan, MLS masih mempertahankan gagasan satu kompetisi; tanpa menerapkan sistem promosi dan degradasi. Hal tersebut juga memiliki benang merah dengan kepentingan dasar para penanam duit di MLS.
Baca juga: Lionel Messi Pilih Berlabuh di Inter Miami bukan Barcelona, Alasannya Ternyata Mengagetkan
Wartawan Washington Post, Steven Goff mengatakan, MLS tidak punya rencana mengubah sistem kompetisi tunggal menjadi promosi dan degradasi dalam waktu dekat.
“Ada isu dengan para investor MLS. Saya tidak tahu apakah kompetisi level bawah bisa stabil dalam pengimplementasian promosi dan degradasi,” kata Goff kepada Sports Net.
Sulitnya Terapkan Promosi dan Degradasi
Pada dasarnya, faktor keberhasilan MLS memang berasal dari dana investor. Merekalah pemilik tim yang menanamkan uang dengan nilai berbeda-beda setiap periodenya. Dimulai dari penanaman uang sebesar 10 juta Dolar AS hingga kini menjadi 200 juta Dolar AS sebagai bayaran untuk menjadi bagian dari MLS.
Baca juga: Bawa Man City Juara Liga Champions, Pep Guardiola Menangis, Ini Ternyata Alasannya
Di samping itu, investor MLS juga harus mematuhi tiga aspek lain yang berkaitan dengan struktur organisasi tim, perencanaan stadion, dan memiliki lokasi strategis, untuk menarik minat suporter sepak bola serta sponsor dan hak siar pertandingan di televisi.
Goal menyatakan, saking tingginya nilai investasi menyulitkan sistem promosi dan degradasi diterapkan. Setiap investor menaruh uang agar timnya bisa eksis di MLS, bukan ingin dihantui dengan risiko turun ke divisi level kedua atau ketiga.
Para investor punya dalih bahwa, ganjaran degradasi tidak sebanding dengan nilai investasi yang telah ditanamkan di MLS.
Baca juga: Kalahkan Milan di Final Liga Champions 1-0, Man City Musim Ini Raih Tiga Gelar Bergengsi
Dalam sebuah wawancara bersama media Tennessean, CEO Nashville SC, Ian Ayre menjelaskan, suatu hal yang menghentikan pemilik tim atau investor berinvestasi adalah ketakutan bermain di kompetisi level kedua. Lagi pula, kata Ayre, promosi dan degradasi akan berdampak buruk terhadap kondisi tim MLS.
“Tim-tim yang terjun dari liga teratas atau turun ke divisi bawah akan mengalami krisis finansial. Tim akan berusaha untuk kembali promosi dengan mengeluarkan segala kemampuannya, yang malah menemui kegagalan dan kerusakan finansial,” sebut mantan petinggi Liverpool itu.
“Tim yang dipromosikan harus berinvestasi besar-besaran untuk tetap bertahan, dan jika gagal, mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba menyeimbangkan kembali keuangan mereka,” sambungannya.
Baca juga: Here We Go! Bukan Barcelona atau Al Hilal, Lionel Messi Justru Gabung Inter Miami
Terlebih lagi, valuasi tim-tim MLS rata-rata sebesar 550 Juta Dollar pada 2022 seperti dihimpun dari Sportico. Los Angeles FC menempati urutan pertama dengan nilai 900 juta Dollar, sedangkan CF Montreal menempati urutan terakhir dengan nilai 390 juta Dollar.
Secara nilai valuasi, MLS memang masih kalah dari NFL (13 Miliar Dollar), MLB (10 Miliar Dollar), dan NBA (7,4 Miliar Dollar). Akan tetapi, MLS meraup rata-rata dua kali lipat pendapatan lebih besar daripada ketiga cabang olahraga di atas.
Bahkan pendapatan MLS berpotensi mengalami kenaikan, menyusul bergabungnya Messi dengan Inter Miami.
Memahami Persaingan MLS
Di Eropa sendiri, bumbu promosi dan degradasi menjadi magnet tersendiri dan menambah nilai pemberitaan bagi liga itu sendiri. Contohnya kisah Sheffield United yang memiliki keterbatasan skuad mampu promosi ke Premier League 2020/21.
Tentunya kisah Sheffield menunjukkan bagaimana perjuangan sebuah tim untuk naik ke kompetisi level teratas. Sementara kita tidak akan melihat kisah semacam Sheffield di MLS, karena tidak tidak ada sistem promosi dan degradasi.
Lalu bagaimana semangat persaingan antar tim di MLS?
Baca juga: Timnas Palestina Tiba di Indonesia Jelang FIFA Matchday, Disambut Hangat oleh Pendukungnya
Walau berstatus kompetisi tunggal, MLS menerapkan salary cap atau pembatasan gaji pemain dalam suatu skuad. Di MLS musim ini, batasan gaji setiap kesebelasan adalah 5,2 juta Dolar AS (Rp 77 miliar), tidak termasuk designated atau marquee player, sedangkan gaji maksimal satu pemain adalah 651.250 Dolar AS (Rp 9,7 miliar).
Ihwal pembatasan gaji pemain mempunyai dua keutamaan; pertama, pembatasan gaji dapat mengkampanyekan kesetaraan di antara tim-tim MLS; kedua, aliran uang dipastikan dapat terkendali dengan sistem macam ini.
Artinya, pembatasan gaji bisa mengantisipasi segelintir tim membeli pemain-pemain bintang untuk kemudian mendominasi raihan gelar.
Selama bergulir hampir 26 tahun, tercatat ada 15 tim berbeda yang telah meraih gelar juara MLS. Sementara jumlah tim berbeda yang menjuarai Premier League, LaLiga, Bundesliga, Serie A, Ligue 1, Eredivisie, bahkan Portugal masih bisa dihitung dengan jari.
Namun pembatasan gaji pemain MLS cukup menghalangi persaingannya dengan tim Liga MX (Meksiko) di Liga Champions CONCACAF.
Pernah Dibawa ke Pengadilan
Pada 2017, pemilik Miami FC dan perusahaan media MP & Silva, Riccardo Silva memberikan penawaran 4 miliar Dollar untuk memiliki seluruh hak siar MLS. Dengan catatan, Silva meminta syarat: MLS harus mengadopsi sistem promosi dan degradasi dengan NASL dan USL Pro berada di bawahnya.
Komisaris MLS, Don Gaber lansung menolak tawaran Silva.
“Hanya karena promosi dan degradasi diterapkan di liga lain, bukan berarti ini akan cocok dengan Major League Soccer,” seru Gaber kepada Kansas City Star.
Silva ingin mengubah sistem MLS yang terkenal sebagai kompetisi eksklusif di AS. Apalagi tim milik Silva, Miami, tak bisa beranjak dari USL ke MLS. Selain soal kesuburan finansial, tim-tim MLS juga diberi akses untuk ikut kompetisi besutan CONCACAF atau FIFA.
“Pendapatan komersial yang lebih besar akan mengalir tidak hanya ke pemilik klub MLS dan MLS, tetapi juga ke semua tingkatan piramida sepak bola AS,” tulis Silva kepada Sports Business Journal.
Selama Silva mengajukan permintaan ke CAS, ESPN melakukan jajak pendapat terhadap 128 pemain dari 24 tim MLS pada 2019. Pemain diminta menjawab pertanyaan setuju atau tidak dengan penerapan promosi dan degradasi di MLS.
Sebanyak 64% pemain setuju, 6% pemain menjawab tidak tahu, sedangkan 30% pemain tidak setuju dengan penerapan sistem promosi dan degradasi di MLS.
Kata salah satu pemain yang namanya dirahasiakan, setiap tim yang terjun ke divisi bawah, tidak akan mendapatkan dukungan penuh dari suporternya.
Baca juga: Kaesang Pangarep Bakal Nyalon Walikota Depok, PSI Jawa Barat Kawal Putra Bungsu Presiden Jokowi
“Komunitas pendukung belum kuat dan tim akan kehilangan banyak uang,” ungkapnya kepada ESPN.
Meski lebih banyak pemain setuju, Silva dan tim Kingston Stockade yang membawa masalah ini ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), diputuskan kalah dalam persidangan pada 2020.
CAS menggunakan Pasal 9 FIFA, yang berbunyi:
“Hak klub untuk mengambil bagian dalam kejuaraan liga domestik akan bergantung pada prestasi olahraga. Sebuah klub harus memenuhi syarat untuk kejuaraan liga domestik dengan tetap berada di divisi tertentu atau dengan menjadi dipromosikan atau diturunkan ke yang lain di akhir musim.”
Menurut CAS, FIFA tidak pernah bermaksud menerapkan sistem promosi dan degradasi di AS. FIFA mungkin tidak menyukai liga tertutup, tetapi MLS dapat diizinkan walau pun kejuaraan profesional domestik tidak pernah memiliki promosi dan degradasi antar divisi.
Di satu sisi, Federasi sepak bola AS (USSF), sebagai badan sepak bola tertinggi di AS, mendapat tekanan karena tidak mampu mendorong MLS mengubah sistem. USSF seolah menjadi pihak yang tunduk terhadap MLS.(*)