Oleh: Kenny Dewi Krisdiany Harahap, S.E., MM
KORANMANDALA.COM – Pendidikan Waldorf adalah sebuah konsep pendidikan yang digagas oleh seorang filsuf Austria yang bernama Rudolf Steiner.
Pendidikan Waldorf telah berkembang di 75 negara selama lebih dari 100 tahun yang lalu. Sekolah Waldorf pertama didirikan di Jerman pada tahun 1919.
Meskipun pendidikan ini digagas oleh seorang berkebangsaan Austria yang mendirikan sekolah pertamanya di Jerman, namun Rudolf Steiner sangat menekankan bahwa konsep pendidikan Waldorf hendaknya diaplikasikan dengan penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan dan budaya setempat.
Pendidikan semestinya merangkul, menghormati, dan merayakan keragaman sosial dan budaya. Di Indonesia, pendidikan Waldorf sudah dikenal sejak belasan tahun yang lalu.
Konsep pendidikan ini menjadi inspirasi berdirinya sebuah playgroup dan taman kanak-kanak di Yogyakarta yang bernama Kulila, yang hingga saat ini terus berkembang. Berdiri pula sebuah taman kanak-kanak yang bernama Madu di Ubud Bali yang kini telah berkembang hingga tingkat pendidikan sekolah dasar.
Di Bandung, berdiri sebuah taman kanak-kanak bernama Jagad Alit dan kemudian berdiri pula taman kanak-kanak dan sekolah dasar Arunika. Pendidikan Waldorf terus berkembang ke Pulau Kalimantan dengan berdirinya sebuah taman kanak-kanak Denia Buen di Balikpapan.
Hingga saat ini Jagad Alit adalah satu-satunya lembaga pendidikan Waldorf yang telah diakui oleh Asosiasi Waldorf International. Tentunya bukanlah tidak mungkin sekolah-sekolah Waldorf lain di Indonesia pun akan mendapatkan pengakuan sebagai sekolah yang memiliki spirit pendidikan Waldorf.
Baca juga: Asosiasi Waldorf Steiner Indonesia Helat WECE Seminar 5
Komunitas-komunitas Waldorf sebagai cikal bakal sebuah lembaga pendidikan Waldorf pun terus berkembang di berbagai kota. Saat ini sebuah komunitas sedang dalam proses inisiasi sebuah taman kanak-kanak di Jakarta.
Pendidikan Waldorf bisa dikatakan berbeda dengan konsep pendidikan pada umumnya ataupun konsep pendidikan alternatif lainnya. Pendidikan Waldorf mendasarkan filosofi pendidikannya pada pendekatan holistik, berpusat pada perkembangan fisik, jiwa dan spiritual anak sebagai manusia yang utuh.
Rudolf Steiner percaya bahwa ilmu pengetahuan, seni, dan spiritual adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu dalam setiap materi pendidikannya, ketiga hal tersebut selalu terintegrasi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara utuh.
Pendidikan Waldorf tidak hanya berfokus pada kepala atau aspek kognitif saja, namun juga melibatkan tangan atau aspek psikomotor yang dapat mewujudkan gagasan menjadi perbuatan-perbuatan yang bermakna.
Pendidikan Waldorf juga melibatkan hati atau aspek afektif sebagai penyeimbang antara pikiran dan perbuatan, sehingga hasil dari proses berpikir tidak hanya sebatas gagasan tanpa tindakan nyata dan tindakan bukanlah suatu perbuatan tanpa pertimbangan yang matang.
Kemampuan dan perkembangan aspek psikomotor, afektif dan kognitif berbeda-beda pada tiap tahap usia anak. Oleh karena itu pendidikan pun berfokus pada aspek yang berbeda-beda pada tiap rentang usia anak.
Pendidikan Waldorf bisa dikatakan berbeda karena konsep ini juga sangat memperhatikan tahapan perkembangan kehidupan manusia, baik perkembangan fisik, jiwa maupun spiritualnya.
Rudolf Steiner membagi perkembangan anak ke dalam tiga tahapan yaitu perkembangan anak hingga usia 7 tahun, perkembangan anak usia 7 hingga 14 tahun dan perkembangan usia 14 hingga 21 tahun.
Pada konsep pendidikan Waldorf, perkembangan indra-indra yang dimiliki oleh manusia memegang peranan penting. Rudolf Steiner memiliki pandangan yang lebih menyeluruh jika dibandingkan dengan konsep panca indra yang kita kenal.
Ada 12 indra yang dikemukakan oleh Rudolf Steiner. Seperti juga aspek psikomotor, afektif dan kognitif, perkembangan 12 indra terjadi dalam tahapan yang berbeda-beda untuk setiap rentang usia. Oleh karena itu pendidikan pun berfokus pada perkembangan indra yang berbeda-beda pada tiap rentang usia anak.
Pendidikan yang menyeluruh -tidak hanya mengedepankan aspek kognitif atau intelegensiadan sangat memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak, dapat dipandang sebagai modal dasar agar pendidikan menjadi sebuah proses yang menyenangkan.
Keunikan-keunikan yang dimiliki oleh pendidikan Waldorf ini merupakan harapan sebuah pendidikan yang humanis, berpihak pada kebutuhan anak dan yang pada akhirnya membantu anak-anak untuk menjadi orang-orang yang memiliki kreativitas dan kemerdekaan dalam berpikir serta bertindak dengan rasa tanggung jawab.(*)
Penulis adalah salah seorang dosen di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Parahyangan Bandung dan guru di PG/TK Jagad Alit Waldorf Bandung. Penulis juga memiliki peranan sebagai Ketua Asosiasi Waldorf Indonesia, Ketua Yayasan Ahli Waris Dewi Sartika (AWIKA), dan Ketua Pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia wilayah Jawa Barat.