Oleh:
M. Sopiyan,
Presidium PENA 98

 

Lebaran 2025 menyisakan keprihatinan yang dalam. Di tengah semarak tahunan yang biasa menjadi momentum perputaran uang terbesar, justru kita menyaksikan fenomena penurunan signifikan. Jumlah pemudik turun 24–26 persen dibandingkan tahun lalu. Imbasnya, perputaran uang di masa Lebaran diperkirakan berkurang Rp 20–25 triliun.

Ironisnya, saat konsumsi menurun, justru pinjaman online dan pay later meningkat 26 persen. Ini menandakan daya beli masyarakat melemah, sehingga konsumsi didorong oleh utang. Di sisi lain, Utang Luar Negeri menembus Rp 8.326 triliun atau sekitar USD 500 miliar, dengan utang jatuh tempo tahun ini mencapai Rp 800 triliun.

Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 70 triliun yang diterbitkan negara, sebagian besar justru dibeli oleh Bank Indonesia. Ini menjadi sinyal lemahnya kepercayaan pasar terhadap instrumen keuangan negara.

Habis Gelap, Terbitlah Terang…Semoga

Penurunan laba bersih Gudang Garam sebesar 81,5 persen dari Rp 5,3 triliun menjadi hanya Rp 980 miliar menjadi indikator lesunya sektor industri dan potensi turunnya penerimaan negara dari cukai rokok. Sementara itu, penerimaan pajak hingga Februari defisit 31 persen dari target. Belum lagi fakta bahwa sekitar 290.000 pekerja kehilangan pekerjaan sejak awal 2024, atau setara 26 orang per jam.

Tekanan juga datang dari fluktuasi nilai tukar. Dengan asumsi APBN 2025 di Rp 16.100 per USD, nilai tukar sempat menyentuh Rp 17.242, dan akhir pekan lalu ditutup di Rp 16.860. Nilai tukar yang melemah berpotensi mendorong inflasi dan menambah beban utang.

Pasar modal pun tak luput. IHSG anjlok hingga 11,7 persen dalam sebulan terakhir. OJK merespons dengan membebaskan aksi buyback tanpa RUPS, tapi hingga kini IHSG belum mampu menembus 7.600, hanya naik dari 6.100 ke 6.250.

Dalam 3 bulan terakhir, dana asing senilai Rp 34,8 triliun telah keluar dari Indonesia. Pemangkasan anggaran hingga Rp 306 triliun mengancam sektor vital seperti infrastruktur, pendidikan, hingga lapangan kerja.

Goldman Sachs telah menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight ke market weight, yang bisa memperlemah kepercayaan investor. Sementara itu, dari 2024 hingga saat ini, 20 BPR bangkrut dan 838 kantor cabang bank tutup. Sekitar 4.190 pekerja perbankan terdampak.

APBN juga mengalami defisit Rp 104 triliun pada kuartal I tahun ini. Sementara, pembentukan Danantara justru menimbulkan tanda tanya publik karena terjadi saat indeks korupsi Indonesia anjlok ke posisi 99 dunia.

Tak hanya itu, 1.994 Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia belum digaji selama tiga bulan. Belanja non-esensial masyarakat pun menurun drastis. Fashion turun 23 persen, elektronik 9 persen, dan perabot rumah tangga 17 persen.

Kebijakan penghapusan kuota impor dan TKDN menjadi sinyal bahaya bagi industri lokal. Ini berpotensi memicu PHK massal di sektor pertanian, peternakan, dan manufaktur. Apalagi, investor dan orang kaya Indonesia mulai mengalihkan aset ke luar negeri, emas, properti asing, dan stablecoin.

Dalam diskusi 21 Maret, Dewan Guru Besar UGM bahkan mengingatkan akan potensi deindustrialisasi besar-besaran di Indonesia. Tutupnya industri manufaktur dan gelombang PHK menjadi fakta yang tak bisa disangkal.

Sudah saatnya pemerintah tidak hanya mengejar target angka makro, namun mendengarkan jeritan rakyat yang makin terjepit oleh realitas ekonomi. Reformasi ekonomi yang berpihak pada produksi dalam negeri, pembukaan lapangan kerja, dan transparansi fiskal harus segera diwujudkan jika tak ingin krisis ini menjadi lebih dalam dan meluas.




Penulis
Leave A Reply

Exit mobile version