Oleh:
Dimas Prasetyo
Pengamat, Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Pasca Pemilihan Presiden 2024, panggung politik Indonesia menyuguhkan berbagai kejutan, salah satunya datang dari Muhaimin Iskandar—atau akrab disapa Cak Imin. Sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin tidak hanya menghadapi kegagalan dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan, tetapi juga tantangan untuk mempertahankan soliditas partai yang dipimpinnya dan membangun ulang posisi politiknya dalam pemerintahan baru.
Muhaimin mengambil langkah yang terkesan paradoks: bergabung ke dalam kabinet pemerintahan baru sebagai Menteri Koordinator. Langkah ini memicu perdebatan, baik dari dalam partai maupun masyarakat luas. Namun, di balik keputusan-keputusan tersebut terselip strategi komunikasi politik yang cermat dan terstruktur.
Komunikasi Internal: Merawat Soliditas Partai
- Konsolidasi Melalui Rapat dan Forum Internal
Setelah pemilu, konsolidasi internal menjadi prioritas utama Muhaimin. Potensi perpecahan di tubuh PKB—terutama dari para kader yang tidak puas atas arah politik yang diambil—diredam melalui pendekatan dialogis dan simbolik.
Ia menggelar forum-forum strategis, mulai dari pertemuan DPP dengan pengurus daerah hingga Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang digelar di Jakarta pada April 2024. Dalam pidatonya di Mukernas tersebut, Muhaimin menyampaikan pesan yang lugas: “PKB tidak boleh kehilangan arah. Kita akan tetap menjadi kekuatan politik yang memperjuangkan kepentingan umat, baik di dalam pemerintahan maupun di luar. Kesolidan partai adalah kunci keberlanjutan perjuangan kita.”
Tidak berhenti pada struktur formal, ia juga mendekati tokoh-tokoh kultural seperti para kiai NU, terutama di basis utama PKB seperti Lirboyo, Kediri. Pertemuan ini bukan sekadar simbol silaturahmi, tapi upaya memperkuat kembali identitas PKB sebagai partai yang tidak bisa dipisahkan dari Nahdlatul Ulama. Dalam pertemuan dengan para kiai NU di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, pada April 2024, ia menegaskan, “PKB harus tetap menjaga tali silaturahmi dengan NU, karena kita adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan Nahdliyin.”
Pendekatan kultural ini menjadi fondasi dari narasi kesinambungan partai. Lewat media, ia menyebarkan pesan bahwa PKB adalah “rumah besar perjuangan umat.” Muhaimin menyadari bahwa stabilitas ideologis partai penting untuk menjaga loyalitas kader dan kepercayaan konstituen tradisional.
- Membangun Narasi Kesinambungan dan Loyalitas
Selain menyampaikan pesan secara terbuka, Muhaimin juga menjadikan komunikasi penugasan dan penyampaian peran sebagai bagian dari strategi penguatan loyalitas. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia pada Mei 2024, ia menyatakan, “PKB adalah rumah bersama. Siapa pun yang ingin memperjuangkan nilai-nilai keumatan dan kebangsaan, PKB adalah tempatnya. Kita tidak boleh terpecah hanya karena perbedaan pilihan politik sementara.”
Dalam forum internal PKB, ia juga menyampaikan, “Loyalitas terhadap PKB adalah loyalitas terhadap nilai-nilai kebangsaan dan keumatan. Partai ini bukan milik individu, tapi milik bersama.”
Melalui akun resmi Twitter @DPP_PKB pada 5 Juni 2024, Muhaimin menyatakan, “Kami pastikan kader-kader PKB yang kompeten mendapat tempat di pemerintahan dan legislatif. Ini bukan soal bagi-bagi kursi, tapi memastikan suara umat dan basis massa kita terwakili.”
Dalam wawancara dengan Koran Tempo, Juli 2024, ia menambahkan, “Kami berhasil memastikan PKB dapat 3 posisi strategis di kabinet. Ini bukan kemenangan kelompok, tapi kemenangan konstituen PKB.”
Komunikasi Eksternal: Menavigasi Lanskap Politik Nasional
- Pendekatan Diplomatis dengan Pemerintah Terpilih
Di tengah atmosfer politik yang terpolarisasi, Muhaimin memilih jalur moderasi sebagai identitas politik barunya. Setelah kalah dalam Pilpres, ia tidak membentuk oposisi keras, melainkan menyampaikan kesiapan bekerja sama dengan pemerintah. Dalam konferensi pers usai bertemu presiden terpilih di Jakarta pada 20 Juli 2024, ia menyatakan, “PKB siap mendukung pemerintahan untuk stabilitas nasional. Perbedaan pilihan politik di pilpres tidak boleh menghalangi kerja sama untuk rakyat.”
Dalam wawancara dengan Metro TV pada Juni 2024, ia menyampaikan, “Kami di PKB punya komitmen konstitusional. Jika pemerintah membutuhkan, kami akan jadi mitra kritis yang konstruktif.”
- Negosiasi Jabatan untuk Memastikan Peran PKB
Melalui komunikasi intensif dengan aktor-aktor partai pemenang, Muhaimin berhasil mengamankan posisi sebagai Menteri Koordinator, sekaligus memastikan PKB memperoleh tiga kursi strategis dalam pemerintahan. Dalam cuitannya di Twitter pada 10 Agustus 2024, ia menegaskan, “PKB tidak hanya hadir sebagai pengisi kursi, tapi sebagai bagian dari solusi. Jabatan yang kami dapat akan digunakan untuk memperjuangkan aspirasi NU dan umat.”
- Membangun Citra Pemimpin Moderat di Media
Dalam era digital, penguatan citra tidak bisa dilepaskan dari pemanfaatan media massa dan media sosial. Muhaimin tampil aktif di berbagai platform digital, termasuk sesi live Instagram bersama tokoh muda dan opini di media nasional. Dalam sesi live Instagram pada 18 Juni 2024, ia menyampaikan, “Kita harus menghindari politik identitas. Moderasi adalah jalan terbaik untuk Indonesia maju.”
Dalam opini yang dimuat di Harian Republika pada Agustus 2024, ia menulis, “Politik harus kembali ke khittahnya: melayani rakyat, bukan kekuasaan. PKB hadir untuk menjembatani polarisasi pasca-pemilu.”
Refleksi Akhir: Komunikasi sebagai Strategi Bertahan
Komunikasi politik dalam konteks kontemporer tidak lagi hanya tentang retorika atau propaganda semata. Ia telah menjelma menjadi alat kepemimpinan strategis yang mampu menjembatani kepentingan partai dengan dinamika nasional yang terus berubah. Dalam hal ini, Muhaimin Iskandar menjadi contoh menarik seorang politisi yang mampu membaca situasi dan menggunakan komunikasi sebagai kekuatan diplomasi.
Dari rangkaian langkah Muhaimin Iskandar pasca-Pilpres, tampak bahwa komunikasi politik telah menjadi alat utama untuk bertahan dalam lanskap kekuasaan yang dinamis. Ia tidak hanya mengatasi potensi fragmentasi internal, tetapi juga mampu menegosiasikan peran politik baru dengan pemerintahan terpilih.
Pendekatannya menunjukkan bahwa politik tidak selalu harus disikapi dengan konfrontasi. Dalam konteks tertentu, moderasi, negosiasi, dan narasi keumatan bisa menjadi alat efektif untuk mempertahankan eksistensi politik.
Bagi PKB, manuver Muhaimin mungkin tidak mendatangkan kemenangan elektoral dalam jangka pendek. Namun dari perspektif jangka panjang, ia berhasil menjaga relevansi partai, mempertahankan basis dukungan, dan membuka peluang untuk kembali menjadi aktor utama dalam konstelasi politik nasional ke depan.
Melalui strategi komunikasi yang menyentuh aspek struktural, kultural, dan simbolik, Muhaimin menunjukkan bahwa kekuatan seorang politisi tidak hanya terletak pada popularitas saat kampanye, tetapi pada kemampuannya merespons dinamika politik dengan narasi yang menenangkan dan keputusan yang terukur.
Dengan demikian, komunikasi politik bukan sekadar tentang berbicara, melainkan tentang membangun makna, mengelola persepsi, dan menciptakan peluang di tengah ketidakpastian. Dalam situasi pasca-Pemilu yang penuh turbulensi, ketepatan dalam menyusun pesan, memilih kanal penyampaian, dan membentuk citra menjadi elemen yang menentukan keberlangsungan kekuasaan dan arah politik selanjutnya. Ke depan, komunikasi politik akan semakin menjadi penentu—bukan hanya pelengkap—dalam strategi pemenangan dan kelangsungan eksistensi partai politik.